logo2

ugm-logo

Pemkot Palu: Pemda terbantu kegiatan rehab rekon pemulihan bencana

Palu (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Palu mengatakan pihaknya sangat terbantu dengan kehadiran pemerintah pusat dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) pemulihan setelah gempa, tsunami, dan likuefaksi yang melanda ibu kota Sulawesi Tengah Tahun 2018.

Wali Kota Palu Hadianto Rasyid saat menjemput rombongan Kantor Staf Presiden (KSP) di Bandara Mutiara Sis-Aljufti Palu, Rabu, mengemukakan, intervensi berbagai pihak dalam pemulihan bencana 28 September 2018 memberikan dampak positif, sehingga Palu cepat bangkit dari keterpurukan bencana.

Bencana alam menjadi pelajaran bagi daerah ini maka pentingnya mitigasi di wilayah Kota Palu, mengingat daerah ini memiliki potensi bencana yang tinggi.

“Kota ini (Palu) perlu mitigasi yang baik. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat siklus gempa di Palu merupakan peristiwa pengulangan satu generasi, yaitu setiap 25 hingga 30 tahun,” ujarnya.

Ia mengemukakan, menghadapi ancaman itu maka perlu kesadaran semua pihak meningkatkan kesiapsiagaan sejak dini, sebagai upaya menghindari dan meminimalisasi dampak yang ditimbulkan bencana.

Dari sisi pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan pembangunan yang ramah gempa, terutama pembangunan infrastruktur baik itu membangun perkantoran, sekolah, pemukiman hingga sarana dan prasarana penunjang lainnya.

“Sekitar 176 hektare wilayah di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan dan 64 hektare di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat padat penduduk tenggelam dihantam likuefaksi. Karena itu tidak boleh lagi ada permukiman warga di wilayah tersebut,” ucap Harianto.

Di kesempatan itu wali kota juga menyampaikan masih terdapat berbagai permasalahan yang belum terselesaikan, termasuk soal lahan eks Hak Guna Bangunan (HGB) yang masa berlakunya telah berakhir sejak tahun 2019.

“Kehadiran Staf Khusus Presiden di Palu bagaikan angin segar bagi kami, mengingat masih ada persoalan seperti lahan eks HGB yang belum ada kepastian hingga tahun 2025, Kiranya dapat diprioritaskan oleh pemerintah pusat,” kata dia menanyakan.

Dijadwalkan rombongan KSP melaksanakan kegiatan peninjauan dan evaluasi program prioritas nasional di Palu dan sekitarnya selama tiga hari mulai 11-13 Juni 2025.

Berdasarkan agenda kunjungan, Kedeputian III KSP akan melaksanakan verifikasi lapangan terkait penyelesaian pascabencana di Sulawesi Tengah dan pengelolaan cagar budaya.

Kegiatan peninjauan dan evaluasi bertujuan mengidentifikasi berbagai tantangan serta kendala yang dihadapi pemda dalam menuntaskan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2022 tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi, Tsunami, dan Likuefaksi di Provinsi Sulawesi Tengah.

Selain itu, kunjungan ini juga untuk mendalami upaya pelestarian dan pengelolaan cagar budaya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Termasuk kegiatan ini juga bagian dari upaya pengembangan program prioritas nasional melalui penguatan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi.

sumber: antara.com

BPBD Bali Terapkan PFA untuk Semua Korban Bencana

KBRN,Denpasar :  Analis Rehabilitasi Masalah Sosial Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Putu Yudari Pratiwi, S.Psi., mengatakan tidak ada perbedaan signifikan dalam pendekatan psikologis antara korban bencana alam dan bencana sosial. Pendekatan pemulihan tetap mengacu pada prinsip Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan pertama psikologis. ”Semua korban berhak mendapat pertolongan psikososial yang setara, tidak ada yang kami bedakan dalam pendekatan psikososial, karena trauma itu bisa dialami siapa saja, apapun jenis bencananya,” ujar Yudari ketika berbincang dalam program acara Obrolan Komunitas baru – baru ini di Programa 4 RRI Denpasar.

Yudari menambahkan Pendekatan PFA terdiri dari tiga langkah utama yaitu melihat, mendengar, dan menghubungkan yang diterapkan secara menyeluruh pada semua jenis bencana. Ketiga langkah ini penting dilakukan sejak fase awal agar penanganan psikososial dapat tepat sasaran dan menyentuh kebutuhan paling mendesak dari para korban.

Dijelaskan Yudari langkah pertama dari Pendekatan PFA yaitu melihat, hal ini dilakukan saat BPBD menerima laporan dan turun langsung ke lokasi kejadian untuk menilai situasi secara visual dan kontekstual. Dengan pengamatan di lapangan, petugas dapat melakukan penilaian awal terhadap siapa korban terdampak, apa saja kerugiannya, serta bantuan apa yang paling dibutuhkan saat itu.

Kemudian langkah kedua adalah mendengar secara aktif, yang dilakukan untuk menggali lebih dalam kondisi psikologis korban dan respons emosional yang mereka tunjukkan terhadap bencana. Dalam proses ini, petugas dilarang menghakimi, menyela pembicaraan, atau memberikan penguatan semu. “kita tidak boleh mengatakan ‘tidak apa-apa, Bu’ karena itu mengabaikan emosi mereka dan justru bisa memperburuk trauma bahkan menghambat proses penyembuhan batin korban.” jelas Yudari.

Langkah terakhir menurut Yudari yaitu menghubungkan, merupakan proses mengarahkan korban pada jaringan bantuan yang tepat seperti Dinas Sosial, yayasan kemanusiaan, atau keluarga terdekat yang terpisah saat bencana terjadi. Tujuannya adalah memastikan bahwa korban mendapat dukungan lanjutan baik berupa logistik, pendampingan psikologis, maupun rekonsiliasi keluarga.

Yudari mengakui bahwa tantangan terbesar sering kali muncul saat menangani perempuan dan anak-anak, khususnya ibu-ibu lansia yang kehilangan orang terdekat. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan menanyakan "dosa apa" yang membuat mereka mengalami musibah, sehingga butuh pendekatan lebih halus dan logis untuk mengembalikan kepercayaan dan harga diri mereka.

Menurut Yudari proses menguatkan kembali mental korban lanjut usia sangat kompleks karena adanya keterbatasan pemahaman terhadap penyebab bencana dan rendahnya literasi kebencanaan. Apabila dibiarkan, rasa bersalah yang mendalam bisa menyebabkan gangguan seperti susah tidur, enggan makan, hingga trauma berkepanjangan yang dapat memperburuk kondisi fisik dan mental mereka.

Selain pendekatan teknis, Putu Yudari juga menekankan pentingnya kepekaan budaya dan spiritual dalam memberikan pendampingan psikososial di Bali yang masyarakatnya sangat religius. “oleh karena itu, petugas lapangan juga harus memahami nilai-nilai lokal dan tradisi masyarakat, agar pendekatan yang dilakukan terasa lebih manusiawi, diterima dengan baik, serta tidak menyinggung kepercayaan yang diyakini oleh para korban” tutup Yudari.

More Articles ...