Dalam 24 jam terakhir, Indonesia kembali dikejutkan oleh serangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda berbagai wilayah. Berdasarkan laporan harian BNPB (2025), tercatat 42 kejadian bencana-termasuk angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor-yang berdampak langsung pada ribuan warga serta infrastruktur vital. Fenomena ini bukanlah kejadian insidental semata, melainkan bagian dari pola sistemik yang mencerminkan krisis iklim global yang semakin nyata, terutama di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis terbesar di dunia, berada pada garis depan risiko tersebut.
Analisis Risiko dan Kerentanan
Laporan IPCC (2022) menegaskan bahwa Asia Tenggara mengalami peningkatan suhu rata-rata hingga 1,5 derajat C dibandingkan era pra-industri, diiringi lonjakan curah hujan ekstrem. Peningkatan ini memperbesar frekuensi serta intensitas bencana hidrometeorologi. Di tingkat nasional, data BMKG dan PVMBG menunjukkan bahwa urbanisasi tak terkendali, degradasi lingkungan, dan lemahnya tata kelola ruang memperparah kerentanan wilayah.
Kasus banjir di Ciamis, Bojonegoro, dan Cirebon, serta longsor di Purbalingga, menunjukkan bagaimana ekosistem yang rusak telah menjadi katalisator utama bencana. Kombinasi antara perubahan tutupan lahan, hilangnya vegetasi penyangga, dan keterbatasan infrastruktur memperbesar risiko sistemik yang sulit direspons secara cepat.
Peluang Adaptasi dan Mitigasi
Meski tantangan membesar, peluang untuk membangun ketangguhan tetap terbuka lebar. Indonesia telah merancang Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), namun implementasinya masih belum optimal, terutama di tingkat daerah.
Kolaborasi antara BNPB, BMKG, BRIN, dan pemerintah daerah perlu diperkuat melalui integrasi sistem informasi berbasis data satelit dan teknologi penginderaan jauh yang dikembangkan LAPAN dan NASA Earth Observatory. Selain itu, pengembangan community-based early warning system terbukti berhasil menekan angka korban jiwa, sebagaimana dilaporkan oleh UNDRR dan ADPC.
Pemanfaatan teknologi mutakhir seperti AI dan IoT dalam pemantauan cuaca dan manajemen evakuasi juga membuka jalan baru menuju sistem respons bencana yang lebih adaptif dan presisi.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Menurut World Bank (2023), kerugian ekonomi akibat bencana di Indonesia mencapai lebih dari USD 2 miliar per tahun. Namun angka tersebut belum mencerminkan kerugian sosial jangka panjang: kehilangan mata pencaharian, gangguan pendidikan, penurunan kualitas kesehatan, hingga potensi konflik sosial.
Di Trenggalek, bencana banjir dan longsor bahkan menyebabkan korban jiwa, mengisolasi desa-desa, dan mengguncang kestabilan ekonomi lokal. Tanpa langkah cepat dan terkoordinasi, proyeksi dampak bisa meningkat secara eksponensial di masa depan.
sumber:
https://www.kompasiana.com/