KBRN,Denpasar : Analis Rehabilitasi Masalah Sosial Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Putu Yudari Pratiwi, S.Psi., mengatakan tidak ada perbedaan signifikan dalam pendekatan psikologis antara korban bencana alam dan bencana sosial. Pendekatan pemulihan tetap mengacu pada prinsip Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan pertama psikologis. ”Semua korban berhak mendapat pertolongan psikososial yang setara, tidak ada yang kami bedakan dalam pendekatan psikososial, karena trauma itu bisa dialami siapa saja, apapun jenis bencananya,” ujar Yudari ketika berbincang dalam program acara Obrolan Komunitas baru – baru ini di Programa 4 RRI Denpasar.
Yudari menambahkan Pendekatan PFA terdiri dari tiga langkah utama yaitu melihat, mendengar, dan menghubungkan yang diterapkan secara menyeluruh pada semua jenis bencana. Ketiga langkah ini penting dilakukan sejak fase awal agar penanganan psikososial dapat tepat sasaran dan menyentuh kebutuhan paling mendesak dari para korban.
Dijelaskan Yudari langkah pertama dari Pendekatan PFA yaitu melihat, hal ini dilakukan saat BPBD menerima laporan dan turun langsung ke lokasi kejadian untuk menilai situasi secara visual dan kontekstual. Dengan pengamatan di lapangan, petugas dapat melakukan penilaian awal terhadap siapa korban terdampak, apa saja kerugiannya, serta bantuan apa yang paling dibutuhkan saat itu.
Kemudian langkah kedua adalah mendengar secara aktif, yang dilakukan untuk menggali lebih dalam kondisi psikologis korban dan respons emosional yang mereka tunjukkan terhadap bencana. Dalam proses ini, petugas dilarang menghakimi, menyela pembicaraan, atau memberikan penguatan semu. “kita tidak boleh mengatakan ‘tidak apa-apa, Bu’ karena itu mengabaikan emosi mereka dan justru bisa memperburuk trauma bahkan menghambat proses penyembuhan batin korban.” jelas Yudari.
Langkah terakhir menurut Yudari yaitu menghubungkan, merupakan proses mengarahkan korban pada jaringan bantuan yang tepat seperti Dinas Sosial, yayasan kemanusiaan, atau keluarga terdekat yang terpisah saat bencana terjadi. Tujuannya adalah memastikan bahwa korban mendapat dukungan lanjutan baik berupa logistik, pendampingan psikologis, maupun rekonsiliasi keluarga.
Yudari mengakui bahwa tantangan terbesar sering kali muncul saat menangani perempuan dan anak-anak, khususnya ibu-ibu lansia yang kehilangan orang terdekat. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan menanyakan "dosa apa" yang membuat mereka mengalami musibah, sehingga butuh pendekatan lebih halus dan logis untuk mengembalikan kepercayaan dan harga diri mereka.
Menurut Yudari proses menguatkan kembali mental korban lanjut usia sangat kompleks karena adanya keterbatasan pemahaman terhadap penyebab bencana dan rendahnya literasi kebencanaan. Apabila dibiarkan, rasa bersalah yang mendalam bisa menyebabkan gangguan seperti susah tidur, enggan makan, hingga trauma berkepanjangan yang dapat memperburuk kondisi fisik dan mental mereka.
Selain pendekatan teknis, Putu Yudari juga menekankan pentingnya kepekaan budaya dan spiritual dalam memberikan pendampingan psikososial di Bali yang masyarakatnya sangat religius. “oleh karena itu, petugas lapangan juga harus memahami nilai-nilai lokal dan tradisi masyarakat, agar pendekatan yang dilakukan terasa lebih manusiawi, diterima dengan baik, serta tidak menyinggung kepercayaan yang diyakini oleh para korban” tutup Yudari.