logo2

ugm-logo

Alih Fungsi Lahan di Dataran Tinggi Lembang Masif, Bencana Alam Makin Mengancam

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Alih fungsi lahan di kawasan wisata Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat menjadi sorotan dibalik sederet bencana alam seperti banjir dan longsor yang menerjang akhir-akhir ini.

Wilayah yang berada di kaki Gunung Tangkuban Parahu perlahan berganti menjadi barisan bangunan. Fungsinya sebagai daerah resapan bergeser menjadi tempat hunian dan surga bagi wisatawan melepas penat dari hiruk pikuk perkotaan.

Bahkan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) KBB mengakuialih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) termasuk Lembang dan Cisarua serta Parongpong cukup masif. Pihaknya pun sulit mengendalikannya karena sebagian besarnya tidak berizin.

"Mungkin akibat dari alih fungsi lahan dalam arti banyak pelanggaran-pelanggaran. Tetapi kita juga sulit mengendalikan soal adanya pembangunan yang tidak berproses melalui kita," ujar Kepala Bidang Penataan Bangunan Prasarana Permukiman dan Bina Konstruksi pada Dinas PUTR KBB, Rahmat Ardiansyah saat dikonfirmasi, Kamis (5/6).

Rahmat menyebut keberadaan bangunan di Lembang yang mengantongi izin dan tidak alias ilegal sama besarnya. Bukan hanya menjadi sarana komersil, ada juga yang berfungsi sebagai hunian.

"Hampir 50-50, jadi sebagian memang tidak melalui proses perizinan atau rekomendasi PUTR. Harus kita bedakan, ada yang komersil ada yang permukiman juga atau rumah. Kalau yang sifatnya komersil, itu rata-rata terkendalikan oleh kita. Nah masalahnya ini, rumah-rumah yang masuk ke 50 persen tidak berizin ini belum mengajukan pembuatan izin. Tapi kita selalu berusaha, sosialisasi ke masyarakat," papar Rahmat.

Jika mengacu terhadap koefisien dasar bangunan (KDB), acuan pendirian bangunan di zona KBU termasuk lahan di Lembang yang akan dibuat bangunan maksimal hanya 20 persen dari luas lahan tersebut.

"Kalau sesuai KDB, itu maksimal 20 persen bahkan ada yang mungkin cuma 10 persen. Karena memang sebagian itu kan ada yang sifatnya wilayah konservasi, dan ada juga yang daerah resapan air. Nah itu yang menjadi PR mungkin ke depan buat kita untuk lebih mengawasi dan mengendalikan bagaimana situasi atau kondisi di Kawasan Bandung Utara," katanya.

Sementara itu berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) KBB mencatat sejak tahun 2022-2024 ada sebanyak 326 izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di wilayah KBU yang diterbitkan.

Pada tahun 2022, ada sebanyak 121 izin PBG. Rinciannya 20 izin di Kecamatan Cisarua, 1 di Kecamatan Lembang, Kecamatan Ngamprah 30, dan 70 di Kecamatan Parongpong. Rata-rata izin PBG dengan fungsi hunian serta usaha.

Di tahun 2023, ada sebanyak 224 izin PBG, dengan paling banyak dikeluarkan untuk daerah Parongpong sebanyak 89, lalu Lembang 73, Ngamprah sebanyak 27, dan Cisarua 35. Izin PBG diterbitkan untuk fungsi hunian, usaha, dan campuran.

Kemudian di tahun 2024, jumlah izin PBB yang diterbitkan sebanyak 45 PBG. Rinciannya Kecamatan Cisarua 5, Lembang 19, Parongpong 14, dan Kecamatan Ngamprah 7. Peruntukannya untuk fungsi hunian, usaha, dan campuran

"Acuannya ke RTRW yang baru, Perda RTRW tahun 2024-2044 untuk KBB. Kemudian untuk KBU itu acuannya ke Perda Provinsi Jawa Barat nomor 2 tahun 2016," kata Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP KBB, Yusef Ahmad Darajat.

Saat ini, pengajuan penerbitan izin PBG oleh masyarakat hingga pelaku usaha harus melalui sistem Online Single Submission (OSS). Sistem tersebut terintegrasi secara nasional, namun tetap melalui proses dari dinas terkait di daerah.

"Misalnya ada Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), Amdal, UKL-UPL. Kemudian perlu memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) KBU," kata Yusef.

Mencegah Sebelum Terlambat: Kolaborasi Penanggulangan Bencana

KBRN, Lhokseumawe : Aceh Utara merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Kondisi geografis dan iklim tropis yang ekstrem membuat wilayah ini kerap menghadapi tantangan serius dalam hal kebencanaan. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan mitigasi menjadi komponen penting dalam manajemen bencana. Penanggulangan bencana bukan hanya tugas pemerintah, melainkan memerlukan kolaborasi multipihak, termasuk masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah (BNPB, 2020).

Pencegahan bencana di Aceh Utara telah diarahkan pada penguatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan kebencanaan dan pelatihan tanggap darurat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan relawan untuk menyosialisasikan pentingnya kesiapsiagaan. Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti tanggul sungai dan sistem drainase juga menjadi bagian dari strategi preventif. Menurut Sutopo (2018), pendekatan struktural dan non-struktural harus berjalan beriringan agar mitigasi bencana dapat berjalan optimal.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi aspek penting dalam manajemen risiko bencana di wilayah ini. Pemerintah daerah menggandeng LSM lokal seperti RUMAN dan lembaga internasional seperti Mercy Corps dalam program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Sinergi ini terbukti meningkatkan keterlibatan warga dalam mengenali potensi risiko di lingkungannya serta mendorong partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait kebencanaan (UNDP Indonesia, 2021).

Namun, tantangan masih tetap ada. Keterbatasan anggaran, lemahnya koordinasi antar-lembaga, serta kurangnya data kebencanaan yang akurat menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan mitigasi. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan terpadu berbasis data serta peningkatan kapasitas institusional di tingkat daerah. Peran teknologi, seperti sistem peringatan dini dan pemetaan risiko berbasis GIS, juga sangat penting dalam mendukung perencanaan yang lebih responsif dan adaptif (BNPB, 2022).

Dengan demikian, manajemen bencana di Aceh Utara harus terus ditingkatkan melalui pendekatan kolaboratif yang terencana dan berkelanjutan. Kolaborasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat akan menciptakan ketangguhan daerah dalam menghadapi ancaman bencana. Penanggulangan bencana bukan hanya soal respon, tetapi tentang kesiapan yang dibangun jauh hari sebelum bencana terjadi. Sebagaimana disampaikan dalam kerangka kerja Sendai Framework, "mencegah lebih baik daripada menanggulangi.

More Articles ...