logo2

ugm-logo

Peduli Lingkungan Tekan Risiko Bencana

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (JIBI/Solopos/Antara/Wisnu Adhi)

Solopos.com, SEMARANG — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta agar masyarakat Jateng mewujudnyatakan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Pelestarian lingkungan hidup diyakininya bisa mengurangi risiko bencana.

“Peduli terhadap sungai, gunung maupun laut jangan hanya digembar-gemborkan, tidak perlu dengan ide atau gagasan yang tinggi dan hebat, melainkan harus dipraktikkan dengan nyata meskipun aksinya kecil,” katanya di Semarang, Senin (7/8/2017).

Menurut Ganjar, kepedulian terhadap sungai, gunung, dan laut terkait erat dengan pengurangan risiko bencana, namun juga menyangkut keindahan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta investasi intelektual. “Sebagai contoh, pengelolaan air di Umbul Ponggok, Kabupaten Klaten, yang mampu mengemas sumber air menjadi tempat wisata menarik dan menghasilkan pendapatan bagi desa setempat hingga mencapai lebih dari Rp10 miliar,” ujarnya.

Politikus PDI Perjuangan itu mengapresiasi masyarakat yang menggalakkan program tebar benih ikan ke sungai atau menanam pohon bagi orang yang menikah. Ganjar menyebutkan, Provinsi Jateng butuh kekuatan-kekuatan berbagai kelompok termasuk masyarakat, perguruan tinggi melalui riset-risetnya, serta pemerintah untuk memunculkan kepedulian semua pihak terhadap sungai, gunung, serta laut.

“Setidaknya keterlibatan komunitas-komunitas peduli alam dan lingkungan guna pengurangan risiko bencana,” katanya.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah hingga awal Agustus 2017, kejadian bencana di Jateng 2016 naik dibanding 2015, yakni dari 1.573 kejadian menjadi 2.112 atau 34,2%. Kejadian bencana terbanyak adalah banjir 296 kali, tanah longsor 970 kali, kebakaran 468 kali, angin topan 418 kali dengan total kerugian diperkirakan mencapai Rp3,2 triliun.

Mitigasi Bencana Tsunami dan Gempa Perlu Menyesuaikan Konteks Wilayah

Sebuah kapal terdampar di lapangan yang jauh dari laut setelah tersapu tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam. Foto diambil setahun setelah kejadian.

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Universitas Brigham Young University (BYU), Ronald Albert Harris berpendapat, ada beberapa kelompok masyarakat tidak mengetahui sejarah tsunami di wilayahnya.

Misalnya, masyarakat di Waingapu, Sumba Timur. Selain itu masyatakat di Bali juga tidak mengetahui bahwa mereka hidup di bekas endapan tsunami purba.

Padahal, menurut penelitian Ron, mengetahui sejarah bencana di lokasi tempat tinggal merupakan hal penting bagi keberlangsungan masyarakat setempat. Selain itu, sebagai upaya penyusunan gagasan mitigasi bencana yang efektif dan efisien.

Hal ini dikatakan Ron dalam diskusi terkait mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (4/8/2017), sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho melalui keterangan tertulisnya, Minggu (6/8/2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ron, beberapa gagasan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Untuk beberapa wilayah di Jawa dan pulau-pulau Sunda kecil, misalnya.

Berdasarkan penelitian, Ron Harris menggagas jargon 20–20–20.

"Angka itu bukan sekedar angka yang kemudian muncul begitu saja. Namun, angka ini berdasarkan kalkulasi saintifik yang memperhitungkan durasi gempa yang terjadi, kecepatan tsunami dan wilayah evakuasi aman," kata Sutopo, melansir ucapan Ron.

Adapun yang dimaksud dengan 20–20–20, yakni 20 detik gempa (5 km/det x 200 det = 100 km zona pecah), 20 menit evakuasi (tsunami velocity) dan 20 meter ketinggian (tsunami model menunjukkan 20 m gelombang run-up).

Meskipun demikian, menurut penelitian Ron, konsep mengenai mitigasi itu bisa berbeda-beda angkanya di setiap wilayah. Sebab, harus adaptasi dengan konteks wilayah.

"Mungkin saja di Ambon 20–10–20, atau di Bali 20–20–10," ucap Sutopo, mengutip Ron.

Ron, menurut Sutopo, juga mengkritisi pemasangan rambu di beberapa daerah, salah satunya di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

"Mencermati realitas dan hasil penelitian di lapangan maka untuk melihat kembali pemasangan rambu evakuasi seperti yang terpasang di Kuta Lombok. Rambu evakuasi tersebut menurutnya tidak mengarahkan pada tempat yang tinggi namun arah evakuasi masih menunjukkan wilayah yang terkena genangan tsunami," kata Sutopo.

Sementara itu, upaya mitigasi di Pulau Dewata juga membutuhkan pendekatan di beberapa sektor seperti budaya, mengingat sesuai peraturan daerah yang mengizinkan bangunan dengan tinggi maksimal 15 meter.

Di sisi lain, berdasarkan pemodelan tsunami dari BYU bahwa dengan gempa bermagnitudo 9 di zona subduksi selatan Bali dapat memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter.

Sementara terkait tanda peringatan, sebagian besar masyarakat memilih sirine. Data ini diambil dari warga di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran.

Namun, menurut Sutopo, Ron menegaskan bahwa terkait alat peringatan bencana itu perlu dipastikan selalu dalam kondisi baik atau tidak rusak.

"Sebagian besar masyarakat di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih sirine. Namun yang terjadi, apakah semua sirine yang terpasang berfungsi secara baik?," tutur Sutopo.

More Articles ...