logo2

ugm-logo

Blog

BNPB: Perubahan iklim berpotensi picu kejadian bencana

Depok, Jabar (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengemukakan perubahan iklim yang kini terjadi di dunia berpotensi memicu kejadian bencana.

“Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrem,” katanya saat Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, Sabtu.

Ia mengatakan tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana, khususnya sejak tahun 1961.

Tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam juga dialami Indonesia dengan rata-rata kenaikan hingga 82 persen sejak 2010 hingga 2022.

"Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” katanya.

Dari data yang dihimpun BNPB pada lima bulan terakhir di 2023, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana.

“Kejadiannya didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen, dengan rincian 92,5 persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering. Sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi,” katanya.

Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir, kata Suharyanto menambahkan.

Ia mengatakan urbanisasi juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat.

Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan kemampuan alam dalam menyerap karbon melemah dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.

Ia mengatakan dampak perubahan iklim tidak hanya terjadi di wilayah hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.

“Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir," ujarnya.

Catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46 persen dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.

Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

“Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat," katanya.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas lahan terdampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan.

Pada tahun 2019 dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara.

“Ini semua menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal,” katanya.

Di akhir sambutan, Suharyanto mengapresiasi keterlibatan berbagai elemen pentahelix dalam penanggulangan bencana.

“Mengatasi dampak perubahan iklim harus sama-sama kita dukung, karena Pemerintah tidak akan bisa bekerja secara optimal tanpa adanya dukungan dari berbagai elemen bangsa termasuk LPBI NU sebagai komunitas penanggulangan bencana,” katanya.

Pada agenda itu turut dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara BNPB dengan LPBI NU untuk memperkuat kerja sama yang telah berjalan dengan baik.

Hadir bersama Kepala BNPB, Plt. Sekretaris Utama BNPB, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Kepala Biro Hukum Organisasi dan Kerjasama BNPB dan Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.

BPBD Kabupaten Mojokerto Usulkan Status Tanggap Darurat Kekeringan

KABUPATEN, Jawa Pos Radar Mojokerto – Peristiwa kebakaran hutan (karhutla) hingga ancaman kekeringan memaksa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mojokerto mengusulkan peningkatan status tanggap darurat bencana kekeringan. Kemarin, usulan telah diluncurkan ke meja sekda hingga Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati. Usulan ini untuk mengantisipasi dampak kemarau panjang agar bisa langsung tertangani.

Dalam usulan tersebut, BPBD menyertakan empat pertimbangan utama dalam meningkatkan status kewaspadaan bencana. Di antaranya instruksi Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa agar setiap daerah segera mewaspadai setiap ancaman bencana selama tahun 2023. Lalu juga prakiraan BMKG soal fenomena gelombang El Nino yang membuat musim kemarau tahun ini diprediksi berlangsung lebih lama, terhitung mulai Mei hingga November nanti.

Kemudian adanya permintaan dropping air bersih dari tiga desa yang sumber mata airnya mulai mengalami krisis. Dan terakhir adalah munculnya sejumlah peristiwa karhutla hingga kebakaran lahan beberapa hari terakhir. ’’Mulai tadi (kemarin, Red) sudah kami naikkan usulan ke pemda untuk diteliti sebelum ditetapkan oleh ibu Bupati (Ikfina Fahmawati, Red),’’ tegas kepala BPBD Kabupaten Mojokerto, Yo’ie Afrida Soesetyo Djati.

Dalam usulannya, Yo’ie turut menyertakan sejumlah langkah penanganan. Mulai dari bantuan dropping air bersih untuk warga di tiga desa di lereng Gunung Penanggungan yang terdampak parah kekeringan. Yakni Desa Kunjorowesi yang dihuni 1.635 jiwa, Desa Manduromanggunggajah sebanyak 2.142 jiwa, serta Desa Duyung di Kecamatan Trawas sebanyak 831 jiwa.

Mulai Juni nanti, BPBD bakal memberikan bantuan air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi warga setempat. Dengan asumsi setiap hari 10 truk tangki dengan ukuran 4 ribu liter per tangki. ’’Kami sertakan pula anggaran bantuan dropping air bersih kurang lebih Rp 200 juta,’’ tambahnya.

Termasuk juga menyiagakan sejumlah petugas dan potensi relawan dan partisipasi masyarakat. Mulai dari petugas pemadam kebakaran (damkar) sebanyak 6 regu atau 59 personel, ditambah relawan dari BPBD, Tahura, dan potensi masyarakat yang jumlah ratusan. Mereka diminta siap siaga dalam penanganan bencana mulai baik pemadaman kebakaran, evakuasi korban hingga bantuan droping selama musim kemarau berjalan.

’’Sudah kami instruksikan kesiapan dalam mengantisipasi potensi bencana kekeringan, termasuk melibatkan sejumlah elemen dari kelompok masyarakat,’’ pungkasnya. (far/ron)

Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
 
Dari definisi tersebut, bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Masih dalam undang-undang yang sama, bencana alam dapat didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Tulisan ini akan membahas tentang bencana alam.
 
Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pusat pertemuan dua pegunungan muda, yaitu Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Indonesia juga berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Letak astronomis Indonesia berada pada 6°LU (Lintang Utara) - 11°LS (Lintang Selatan) dan 95°BT (Bujur Timur) - 141°BT (Bujur Timur). Selanjutnya, secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
 
Kondisi geologi, astronomi, dan geografis menyebabkan Indonesia sangat dinamis dipandang dari sisi kebencanaan terutama bencana alam. Indonesia menjadi negara yang memiliki berbagai kemungkinan terjadinya bencana. Jalur pegunungan muda menyebabkan munculnya rangkaian gunung api aktif di Indonesia yang sering meletus. Pergerakan lempeng tektonik menyebabkan Indonesia rawan gempa bumi dan bencana susulannya seperti tsunami dan tanah longsor. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim monsun Asia. Curah hujan yang tinggi disertai angin topan, badai, dan puting beliung umum terjadi.
 
Berdasarkan pengamatan penulis, seringnya terjadi bencana di Indonesia tidak menjadikan masyarakat selalu waspada. Banyak masyarakat yang terkena suatu bencana seolah-olah tidak pernah mengalami bencana tersebut sebelumnya. Salah satu contoh, yaitu bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004.
Banyak masyarakat Aceh yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah gempa yang diikuti dengan surutnya air laut secara cepat dan mendadak. Mereka tidak mengetahui bahwa fenomena tersebut adalah tanda awal terjadinya tsunami yang meluluh lantakkan Aceh hingga beberapa negara di Asia Tenggara. Padahal berdasarkan catatan sejarah, Aceh telah berkali-kali mengalami tsunami dalam banyak generasi. Ketidaktahuan tersebut mungkin disebabkan kala ulang kejadian bencana yang panjang dan dapat melewati umur beberapa generasi.
 
Bagaimana dengan kejadian bencana yang memiliki kala ulang lebih pendek seperti letusan Gunung Merapi di Jawa?
 
Penulis mengamati bahwa kesiapsiagaan beberapa masyarakat juga masih rendah. Seperti kejadian letusan Merapi pada Oktober 2010. Seolah-olah mereka lupa bagaimana dahsyatnya letusan Merapi pada tahun-tahun sebelum. Mereka lebih mempercayai mistik dibandingkan tanda-tanda yang telah diberikan oleh alam. Akibatnya lebih dari 300 orang menjadi korban akibat letusan Merapi yang eksplosif.
 
Mengapa masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau tinggal di luar kawasan rawan bencana menjadi cepat lupa?
 
Banyak penelitian menunjukkan bahwa manusia sering meremehkan jangka waktu yang telah berlalu sejak kejadian suatu peristiwa, contohnya bencana alam masa lalu. Selain itu manusia sering kali terlalu melebih-lebihkan jumlah waktu yang telah berlalu sejak terjadinya suatu peristiwa yang lebih baru. Contohnya kejadian bencana alam yang baru saja terjadi beberapa minggu atau bulan ke belakang. Garis waktu mental manusia melengkung dan cenderung tidak sesuai dengan kronologi yang sebenarnya. Kondisi ini yang dapat menyebabkan manusia menjadi cepat lupa dan tidak siaga akan datangnya bencana.
 
Seringnya terjadi bencana alam seharusnya membuat manusia harus mampu menyesuaikan diri untuk dapat hidup layak. Demikian juga dengan masyarakat Indonesia. Bencana alam yang datang silih berganti menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan kondisi tersebut. Proses adaptasi yang berlangsung panjang tersebut dapat membentuk kearifan lokal yang khas dan menyatu dengan budaya lokal dari tiap masyarakat yang tinggal pada daerah rawan bencana dengan karakteristik yang berbeda-beda.
 
Kearifan lokal yang menyatu dengan budaya yang melekat dalam keseharian dan kehidupan masyarakat dapat menghindarkan manusia dari lupa cara menghadapi bencana dan selalu waspada dengan kemungkinan terjadinya bencana. Kearifan lokal tersebut merupakan bentuk mitigasi terbaik bagi masyarakat dalam menghadapi bencana.
Bila kita menggali lebih dalam tentang kebudayaan Indonesia, maka akan ditemukan banyak kearifan lokal yang berbentuk mitigasi bencana. Di Pulau Simeulue yang merupakan bagian dari Provinsi Aceh, masyarakatnya memiliki kearifan lokal yang bernama Smong. Smong adalah istilah kata yang berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli masyarakat Simeulue. Smong berarti hempasan gelombang air laut. Smong bermula ketiga terjadi tsunami yang melanda Simeulue pada tahun 1907.
 
Tsunami menghacurkan pemukiman di sepanjang pesisir dan menimbulkan banyak korban jiwa. Sejak kejadian itu masyarakat Simeulue menjadikan Smong sebagai budaya tutur. Kisah tentang Smong diceritakan turun-temurun dari generasi ke generasi. Smong disampaikan kepada generasi muda pada berbagai kesempatan. Smong dikisahkan kepada santri setelah selesai mengaji. Smong diceritakan kepada anak saat istirahat atau ketika berkumpul bersama anggota keluarga. Bahkan para ibu selalu bersenandung tentang Smong untuk menidurkan anak-anaknya.
 
 
Dalam kesenian tradisional masyarakat Simeulue Nandong juga dapat ditemui lirik yang mengandung kisah Smong. Nandong yang berasal dari kata senandung, dibawakan dengan nyanyian lembut berisi kisah Smong. Syair atau lirik Smong adalah sebagai berikut:
 
Enggelmon sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
 
Inang maso semonan (Pada masa zaman dulu)
 
Manoknop sao fano (tenggelam satu tempat)
 
Wila dasesewan (begitulah mereka ceritakan)
 
Unenne aek linon (Diawali dengan gempa)
 
Besang bakatne malli (Disusul ombak yang besar sekali)
 
Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh kampung)
 
Tibo-tibo mawi (tiba-tiba saja)
 
Anga linonne malli (Kalau gempanya kuat)
 
Uwek surui sahuli (disusul air surut sekali)
 
Mahea mihawali (segera cari)
 
Fanome singa tenggi (tempat kalian yang lebih tinggi)
 
Ede Smong kahanne (Itulah Smong namanya)
 
 
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
 
Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
 
Pesan dan navida (Pesan dan nasihatnya).
 
Terbukti Smong telah menyelamatkan ribuan penduduk Simeulue pada saat gempa dan tsunami 2004. Dari 78.000 penduduk Pulau Simeulue, korban jiwa yang jatuh saat bencana tersebut melanda hanya berjumlah tujuh orang. Padahal lokasi pulau sangat dekat dengan titik pusat gempa, gelombang tsunami yang melanda juga cukup tinggi, dan penduduk Simeulue bermukim pada daerah pesisir yang sangat dekat dengan pantai.
 
Selain Smong, ada pula Ilmu Titen yang menjadi mitigasi bencana letusan gunung api dalam bentuk kearifan lokal penting di Desa Balerante, Kabupaten Klaten. Terdapat kepercayaan berupa anak gunung atau bukit yang melindungi desa dari erupsi Gunung Merapi. Bukit tersebut menjadi salah satu acuan untuk kesiapsiagaan. Selama awan panas dari erupsi tidak menjangkau bukit tersebut, maka masyarakat masih merasa aman dari ancaman awan panas.
 
 
Bila awan panas melewati bukit maka mereka harus bersiap menuju barak pengungsian. Ilmu Titen menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menentukan kapan mereka harus meninggalkan desa dan menuju tempat yang aman. Sama halnya dengan Smong, Ilmu Titen diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
 
Kearifan lokal terkait mitigasi bencana yang menjadi bagian dari budaya merupakan cara tepat untuk membentuk kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Kearifan lokal tersebut dapat mengatasi fenomena garis waktu mental manusia melengkung yang menyebabkan masyarakat cepat lupa dengan kejadian bencana karena sifatnya yang menyatu dengan keseharian kehidupan.
 
Kearifan lokal tersebut dapat terus dikembangkan bahkan diadopsi ke daerah lain yang memiliki kemiripan karakteristik bencana. Dukungan dari pemerintah untuk menggali lagi kearifan lokal mitigasi bencana di wilayah lain di Indonesia sangat diperlukan sebab dengan berbagai bukti nyata, kearifan lokal terebut dapat mengurangi risiko bencana.

Mitigasi Bencana Alam, BRIN Fokuskan Penelitian pada Konservasi Air dan Tanah

Bogor - Humas BRIN. Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan letak astronomis Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan tinggi, serta posisinya pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Pertemuan tiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sering mengalami gempa bumi, tsunami, serta tanah longsor.

Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi dampak bencana alam yaitu melalui mitigasi dan adaptasi. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Organisasi Hayati dan Lingkungan (OR HL) memfokuskan penelitiannya pada Daerah Aliran Sungai (DAS), hidrologi, konservasi air dan tanah. 

Kepala PREE, Anang Setiawan Achmadi memandang perlu kajian riset terkait kebencanaan dari hulu hingga ke hilir yang kemudian membuka peluang riset kolaboratif dengan stakeholder. Hal ini disampaikan saat membuka Jamming Session seri ke-6 yang bertemakan Berdamai Dengan Bencana, pada Kamis (25/5) secara hibrid melalui aplikasi zoom.

Tyas Mutiara Basuki, Profesor Riset PREE mengungkapkan pentingnya penginderaan jauh (remote sensing) sebagai salah satu input mendapatkan data akurat untuk diolah dalam perencanaan pengelolaan DAS. 

Tyas menyebutkan data-data yang dapat dihasilkan melalui citra satelit atau Google Earth terkait pengelolaan DAS, antara lain data kemiringan lereng, data curah hujan, suhu, kelembaban dan evapotranspirasi. Lebih jauh Tyas menambahkan manfaat penginderaan jauh bagi monitoring kondisi sebuah kawasan. 

"Melalui penginderaan jauh kita juga dapat memantau pemanfaatan lahan, misalnya batas pengelolaan sebuah perkebunan atau rehabilitasi area terbuka apakah lahannya sudah hijau atau masih gersang," ungkap Tyas.

Pada kesempatan yang sama Endang Savitri Peneliti Ahli Madya PREE, berhasil menyusun peta potensi bencana banjir bandang melalui pengamatan citra lansat. "Berbeda dengan bencana banjir pada umumnya, banjir bandang tidak selalu didahului dengan hujan deras. Ia bahkan dapat dipicu dengan terjadinya gempa bumi seperti kejadian banjir bandang di Luwu Utara tahun 2020," terang Endang. Ia meyakini peta kebencanaan yang dihasilkannya bersama tim berbeda dengan peta yang dikeluarkan BNPP yang lebih fokus pada daerah yang berdampak bencana.   

Selain penginderaan jauh, penerapan teknologi konservasi sumberdaya tanah dan air juga memegang peranan yang tak kalah penting untuk pengendalian bencana. Peneliti Ahli Madya PREE bidang konservasi tanah dan air, Rahardyan Nugroho Adi menguraikan pentingnya monitoring tata air untuk mengetahui perkembangan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran air dari suatu DAS. 

Adi menegaskan teknologi pengelolaan air pada prinsipnya supaya air yang beredar sesuai siklus hidrologi jumlahnya tetap atau seimbang. "Kekurangan atau air yang berlebih dapat menyebabkan bencana alam kekeringan dan banjir," ujar Adi yang akrab disapa Didi menyimpulkan.

Ryke Nandini dan Wuri Handayani, Peneliti Ahli Madya PREE merinci teknik konservasi air dan tanah di daerah hulu dan tengah DAS. Teknik konservasi di daerah hulu terutama untuk mengatasi masalah lahan kritis, longsor lahan, dan erosi. Hal ini biasanya diatasi dengan teknik terasering, matras erosi dan pengolahan tanah. 

"Kearifan lokal masyarakat di setiap daerah dalam mengelola sumberdaya tanah dan air di lahan mereka penting juga kita catat. Praktik pengelolaan lahan yang sudah puluhan tahun terbukti mempertahankan produktivitas lahan, sering kali menjadi dasar pengembangan teknologi konservasi sumberdaya tanah dan air yang kini dikembangkan para peneliti," terang Wuri menambahkan. 

Purwanto, Peneliti Ahli Utama PREE bidang ekonomi sumberdaya memaparkan konsep Berdamai dengan Bencana atau adaptasi dari sudut pandang sosial. "Air dan api, kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Maka air jangan sampai menjadi air bah. Air di sekitar kita semaksimal mungkin dijaga kualitas dan seminimal mungkin dibuang ke saluran terbuka. Kewajiban setiap pengguna lahan menerapkan teknik konservasi air dan tanah di lahannya," terang Purwanto. 

Ia meyakini kearifan lokal petani perlu diadopsi dan dikembangkan seperti dalam pemilihan komoditas pertanian yang tahan kering. "Sistem penanaman tumpang gilir di beberapa wilayah Nusantara serta pembuatan sumur renteng terbukti mampu meningkatkan adaptasi masyarakat lokal dengan bencana kekeringan," ungkap Purwanto. 

Bincang konservasi tanah dan air untuk mitigasi dan berdamai dengan bencana dipimpin Hunggul Yudono Setio Hadinugroho, Peneliti Ahli Utama PREE sebagai moderator. "Diskusi kita hari ini dilaksanakan dengan konsep Rumah Cerdas, yaitu rumah tempat berbagi cerita seputar DAS, semoga bermanfaat bagi kita semua," pungkas Hunggul. (ugi/ed:jml)

Resiliensi Bencana Memerlukan Strategi dan Manajemen Kerja

MUHAMMADIYAH.OR.ID, KUDUS – Kerja atau aktivitas resiliensi bencana bukan kaleng-kaleng, tetapi di dalam penuh dengan kompleksitas. Maka penting untuk menyusun strategi dalam melakukan tindakan, bukan hanya datang memberi bantuan dan hilang.

Demikian rangkuman atas yang disampaikan oleh Ketua Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Budi Setiawan dalam Rapat Kerja Pimpinan LRB Pusat pada, Sabtu (27/5) di Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU).

“Jadi kerja kita ini harus ada kekuatan yang menekan yang harus muncul dalam semangat resiliensi itu sendiri. Ini bukan kerja biasa, dan harus tertanam dalam benak diri.” Kata Budi Setiawan.

Maka bagi setiap Relawan Muhammadiyah yang bergabung dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), maka secara otomatis harusnya menyadari bahwa kerja-kerja pertolongan yang dia berikan bukan suatu yang kaleng-kaleng.

Sebagai relawan yang bergabung dalam sebuah sistem organisasi, imbuh Budi, dalam menghadapi persoalan atau masalah tidak digantung dan selesai dengan sendirinya, melainkan harus memiliki target waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Target penyelesaian persoalan atau masalah tersebut akan berimplikasi pada persoalan atau masalah selanjutnya. Budi mengibaratkan, seperti menaiki sebuah kapal yang berlayar, pantang pulang meski badai menghadang, perjalanan harus sampai di daratan tujuan.

Dalam menghadapi persoalan konflik, Relawan Muhammadiyah tidak boleh mengambil keuntungan. Melainkan harus hadir sebagai pembangun perdamaian dan penengah konflik, serta menyediakan layanan kesehatan dan psiko-sosial.

“Respon terhadap bencana alam dan konflik merupakan tindakan kemanusiaan universal, sehingga menjalankannya untuk korban siapa saja tanpa melihat latar belakangnya.” Tutur Budi.

Budi menegaskan, dalam melakukan pertolongan terhadap siapapun, MDMC PP Muhammadiyah menggunakan berbagai strategi dengan prinsip utama adalah tetap Penanggulangan Risiko Bencana (PRB).

Dalam periode lima tahun ke depan (2022-2027), MDMC mencanangkan diri sebagai Resiliensi Berkemajuan, sebagai konsekuensi bagian dari Amanat Muktamar ke-48 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan.