TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan anggaran untuk edukasi dan mitigasi bencana alam pada APBN 2019 telah dialokasikan lebih besar.
Hal tersebut disampaikan Jokowi saat menggelar rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/1/2018).
"Pemerintah beraama DPR telah mengalokasi lebih banyak lagi anggaran untuk melakukan edukasi, melakukan mitigasi bencana alam. Kita terus memperkuat daya tahan kita, kesiapan kita dalam menghadapi bencana," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, peningkatan anggaran untuk mitigasi bencana sangat diperlukan mengingat Indonesia berada pada wilayah cincin api atau ring of fire dan memiliki geografis rawan bencana.
"Kita harus siap, harus respon, sigap, sanggup menghadapi bencana alam," ucap Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun menegaskan persoalan edukasi kebencanaan agar segera dikerjakan secara baik dan konsisten kepada siswa maupun masyarakat.
"Dilajukan sejak dini, masuk dalam muatan yang diajarkan dalam sistem pendidikan kita, sehingga betul-betul kita siap menghadapi bencana yang ada," kata Jokowi.
Pada 2019 ini pagu untuk bencana dipastikan meningkat.
Dalam hal ini, anggaran diperuntukkan bagi dua kebutuhan, yakni antisipasi dan rehabilitasi, terutama rehabilitasi konstruksi.
Total yang disiapkan senilai Rp 15 triliun.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Jokowi: Anggaran Edukasi dan Mitigasi Bencana Alam Telah ditingkatkan, http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/07/jokowi-anggaran-edukasi-dan-mitigasi-bencana-alam-telah-ditingkatkan. Penulis: Seno Tri Sulistiyono Editor: Adi Suhendi
TRIBUNJABAR.ID, LAMPUNG - Masa tanggap darurat di Kabupaten Lampung Selatan kembali diperpanjang, pasca-tsunami yang melanda pantai sekitar Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018).
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, perpanjangan masa tanggap darurat ini berlaku selama dua minggu, dari 6 Januari hingga 19 Januari 2019.
"Untuk penanganan darurat di Kabupaten Lampung Selatan, masa tanggap darurat diperpanjang selama 2 minggu yaitu 6 Januari 2019 hingga 19 Januari 2019," ujar Sutopo melalui keterangan tertulis, Sabtu (5/1/2019).
Ini merupakan kali kedua pemerintah daerah memperpanjang masa tanggap darurat.
Setelah bencana terjadi, masa tanggap darurat di Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan berlangsung selama 7 hari, dari 23-29 Desember 2018.
Kemudian, masa itu kembali diperpanjang selama satu minggu, dari yang semula berakhir 29 Desember 2018 menjadi 5 Januari 2019.
Berdasarkan data BNPB, tsunami merenggut 120 korban jiwa di daerah tersebut. Kemudian, sekitar 8.000 orang mengalami luka-luka dan ribuan orang lainnya mengungsi.
"Korban tsunami di Lampung Selatan tercatat 120 orang meninggal dunia, 8.304 orang luka, dan 6.999 orang mengungsi," katanya.
Sementara itu, BNPB mencatat, sebanyak 710 rumah mengalami kerusakan.
Rinciannya, 543 rumah rusak berat, 70 rumah rusak sedang, dan 97 rumah rusak ringan.
Untuk pembangunan rumah warga, pemerintah memutuskan untuk langsung membangun hunian tetap dan tidak membangun hunian sementara (huntara).
Sutopo mengatakan, sudah tersedia lahan untuk membangun hunian tetap bagi warga yang terdampak.
"Sesuai kesepakatan dan rapat koordinasi, tidak ada pembangunan huntara di Lampung Selatan. Namun dengan pembangunan hunian tetap untuk relokasi," sebut Sutopo.
"Sudah tersedia lahan seluas 2 hektar untuk pembangunan huntap," lanjutnya.
Sebelumnya, tsunami melanda pantai di sekitar Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) malam.
Tsunami tersebut dipicu oleh longsoran bawah laut dan erupsi Gunung Anak Krakatau.
Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, masa tanggap darurat penanganan bencana tsunami yang melanda Kabupaten Pandeglang resmi berakhir pada 4 Januari 2019. Kini priode transisi darurat menuju peralihan diberlakukan selama 2 bulan yaitu 6 Januari 2019 hingga 6 Maret 2019.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan kini penanganan darurat masih dilakukan. “Selama masa transisi darurat ini akan dibangun hunian sementara atau huntara,” ujar Sutopo dalam keterangan resminya.
Menurut Sutopo, Pemda Pandeglang dan Banten akan mengalokasikan anggaran untuk perbaikan. Sedangkan untuk perbaikan rumah rusak berat dan rusak sedang akan diusulkan melalui hibah rehabilitasi dan rekonstruksi ke BNPB.
Sedangkan ntuk penanganan darurat di Kabupaten Lampung Selatan masa tanggap darurat diperpanjang selama 2 minggu yaitu 6 hingga 19 Januari 2019.
Untuk korban tsunami di Lampung Selatan tercatat 120 orang meninggal dunia, 8.304 orang luka, dan 6.999 orang mengungsi dan sebanyak 543 rumah rusak berat, 70 rumah rusak sedang dan 97 rumah rusak ringan.
Korban tsunami di Lampung Selatan tercatat 120 orang meninggal dunia, 8.304 orang luka, dan 6.999 orang mengungsi. Sebanyak 543 rumah rusak berat, 70 rumah rusak sedang dan 97 rumah rusak ringan.
Sebelumnya, tsunami melanda pantai di sekitar Selat Sunda, pada 22 Desember 2018. Tsunami tersebut dipicu oleh longsoran bawah laut dan erupsi Gunung Anak Krakatau. Hingga kini, BNPB mencatat 437 korban jiwa akibat bencana tsunami tersebut.
Sementara itu, 10 orang masih dinyatakan hilang, 9.061 orang mengalami luka-luka, dan 16.198 orang mengungsi.
Lampung - Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan memperpanjang status masa tanggap darurat penanganan bencana tsunami. Hal itu sekaligus merupakan perpanjangan kedua setelah terjadi bencana tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) malam.
Informasi dari Dinas Kominfo Lamsel di Kalianda sebagaimana dilansir Antara, Minggu (6/1/2019), menyebutkan Plt Bupati Lamsel Nanang Ermanto telah mengeluarkan SK Nomor B/30/VI.02/Hk/2019 tanggal 6 Januari 2019 tentang Penetapan Perpanjangan Kedua Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Tsunami di Kabupaten Lampung Selatan.
Dalam SK tersebut, dijelaskan bahwa pertimbangan dari surat Badan Geologi Kementerian ESDM 27 Desember 2018 perihal peningkatan status Gunung Anak Krakatau dari Level II (Waspada) ke Level III (Siaga) sampai penetapan perpanjangan status tanggap darurat penanganan bencana tsunami berakhir pada 5 Januari 2019.
Status Gunung Anak Krakatau tetap level III (siaga) dan penanganan pengungsi masih diperlukan.
Situasi tanggap darurat penanganan tsunami di Kabupaten Lamsel perlu tambahan periode operasi tanggap darurat.
Karena itu, Plt Bupati Lamsel menetapkan perpanjangan kedua status tanggap darurat penanganan bencana tsunami Kabupaten Lamsel, dengan perpanjangan selama 14 hari, dari 6 Januari sampai 19 Januari 2019.
Penetapan ini dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penanganan darurat bencana tsunami Kabupaten Lamsel.
Sebelumnya, masa tanggap darurat bencana tsunami Selat Sunda di Kabupaten Lamsel telah diperpanjang satu pekan mulai Minggu (30/12).
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamsel I Ketut Sukerta, fokus masa tanggap darurat tahap kedua adalah pencarian korban yang dilaporkan masih hilang dan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi yang terkena dampak tsunami Selat Sunda di Lamsel.
"Fokus masih ke pencarian korban yang hilang delapan orang dan penanganan pengungsi, seperti pemenuhan kebutuhan dasar para pengungsi," kata dia lagi.
"Mereka yang kehilangan rumah tengah dipikirkan, apakah disiapkan hunian sementara dan sebagainya," katanya pula.
Ketut menyatakan semua kebutuhan dasar pengungsi ataupun korban terus diupayakan dipenuhi oleh pemerintah dari makanan, pakaian, sampai tempat tinggal, termasuk kebutuhan anak-anak sekolahnya.
"Semua yang berkaitan dengan mereka pasti dipikirkan," kata dia lagi.
Sekda Pemerintah Kabupaten Lamsel Fredy SM telah menyampaikan masa tanggap darurat diperpanjang sampai Sabtu, 5 Januari 2019.
"Ya, tanggap darurat diperpanjang tujuh hari lagi sampai dengan tanggal 5 Januari," kata Sekdakab Lamsel itu pula. (asp/asp)
Jakarta (ANTARA News) - Kejadian tsunami di Teluk Palu dan daerah pesisir yang menghadap Selat Sunda di Banten dan Lampung mengejutkan banyak pihak di 2018. Pasalnya, kedua bencana tersebut datang nyaris tanpa peringatan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang memberikan peringatan tsunami di Teluk Palu pascagempa 7,4 Skala Richter (SR) di kedalaman 10 kilometer (km) pada 0.18 LS 119.85 BT, Jumat (28/9), sekitar pukul 18.02 WITA. Namun banyak yang menyayangkan peringatan dini tsunami tersebut terlalu cepat dicabut.
Hasil penelitian sementara berdasarkan survei batimetri tim gabungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama universitas dan lembaga penelitian lainnya yang dilakukan dengar Kapal Riset Baruna Jaya I sekitar dua minggu pascabencana menunjukkan bahwa tsunami terjadi disebabkan adanya deformasi bawah laut Teluk Palu pascagempa.
Sedangkan tsunami di Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu (22/12), sekitar pukul 21.38 WIB, yang tidak diawali gempa semakin membuat semua orang tersentak. Korban jiwa mencapai 437 orang.
Tidak ada peringatan dini sama sekali kali ini. Sejumlah media online memberitakan tsunami tersebut sekitar 1 hingga 1,5 jam setelah kejadian, namun saat itu BMKG hanya menyebutnya sebagai gelombang tinggi.
Untuk beberapa saat tidak ada yang tahu pasti penyebab tsunami Selat Sunda. Dugaan awal dari sejumlah ahli geologi, kegempaan dan tsunami menyebutkan adanya longsoran bawah laut akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Dugaan-dugaan awal para ahli tersebut terjawab dengan cepat mana kala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menunjukkan hasil citra satelit dari Sentinel-1A tertanggal 23 Desember 2018, yang terekam pada pukul 05.33 WIB, memperlihatkan dengan jelas bagian barat daya lereng Gunung Anak Krakatau hilang.
Dari sana Kementerian Koordinator Bidang Maritim, BMKG, BPPT, LAPAN, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan rilis resmi bahwa area seluas 64 hektare (ha) di sisi barat daya gunung berapi aktif di Selat Sunda tersebut mengalami longsor yang memicu terjadinya tsunami.
Petugas mengecek perangkat server sirene sistem peringatan dini tsunami saat uji coba rutin di Banda Aceh, Aceh, Senin (26/11/2018). Uji coba membunyikan Tsunami Early Warning System (TEWS) yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada setiap tanggal 26 setiap bulannya untuk mengecek dan perawatan perangkat komunikasi dan server sirene peringatan bencana tsunami. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/aww.
Kabar Ina-TEWS
Sebenarnya penduduk Negeri Cicin Api ini pernah tersadar, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sangat penting dan diyakini akan membantu memitigasi bencana seperti tsunami.
Bagaimana pun, 26 Desember 2004 merupakan masa yang tidak mungkin terlupa oleh umat manusia. Gempa 9,3 SR yang diikuti tsunami setinggi hingga 30 meter yang meluluhlantakkan Aceh dan banyak tempat di Sumatera Utara hingga Thailand menjadi pelajaran sangat mahal yang harus dibayar.
Ratusan ribu nyawa hilang. Dan momen tersebut menyadarkan bahwa Negeri ini sangat lemah dalam hal mitigasi bencana.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya ALam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang dikembangkan bersama oleh berbagai institusi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) ada sejak 2008.
Mulai dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), BMKG, BPPT, LIPI, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), BNPB, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Informasi dan Telekomunikasi (Kominfo), TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), LAPAN, Institut Teknologi Bandung (ITB) mendapat tugas sebagai institusi teknis yang melakukan operasional pengamatan unsur-unsur gempa bumi, gerakan kerak bumi dan perubahan permukaan air laut.
Sementara yang mendapat peran melaksanakan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat yaitu Kementerian Negara Ristek, LIPI, Kemdagri, Kominfo dan BNPB.
Komponen struktural berupa sensor-sensor detektor tsunami, mulai dari seismometer, stasiun pasang surut dan tsunami buoy menjadi teknologi utama pendukung Ina-TEWS. Seismometer dioperasikan oleh BMKG, sedangkan stasiun pasang surut digunakan untuk mengukur keadaan muka air laut yang dipasang di pantai atau di pelabuhan.
Sedangkan empat tsunami buoy yang, menurut dia, pernah beroperasi di perairan Indonesia, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan yang memiliki Ocean Bottom Unit (OBU) untuk mendeteksi adanya gelombang yang berpotensi sebagai tsunami yang lewat di atasnya.
Dalam sistem peringatan dini tsunami tersebut, lanjutnya, terdapat pula seismograf yang mencatat dan menginformasikan lokasi gempa, besarannya, hingga waktunya yang diintegrasikan oleh Device Support System (DSS) sehingga dapat diketahui bahwa gempa tersebut akankah berpotensi menjadi tsunami atau tidak.
Data itu pun harus disamakan dulu dengan data yang diperoleh dari buoy atau OBU. Bila data tersebut memang berpotensi menimbulkan tsunami, maka BMKG akan mengeluarkan info peringatan tsunami kepada masyarakat.
Data dikirim secara aktif oleh OBU melalui underwater acoustic modem yang nantinya akan sampai ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. Kemudian, menurut dia, data yang diterima buoy akan ditransmisikan via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di BPPT.
Alat inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami, lalu diteruskan ke Warning Center di BMKG.
Persoalannya, Hammam mengatakan 22 buoy yang sempat memperkuat sistem peringatan dini tsunami Ina-TEWS di 2012 sudah tidak ada karena rusak maupun aksi vandalisme.
Tsunami buoy, menurut dia, pernah dua kali ada di sekitar Selat Sunda. Setelah yang pertama hilang atau rusak, maka BPPT sempat menggeser tsunami buoy di sekitar Laut Sulawesi ke Selat Sunda.
Masalahnya aksi vandalisme kembali terjadi, akhirnya upaya membentengi masyarakat dari bahaya bencana tsunami kembali terkendala.
Berbagai usulan teknologi
Kini, sejumlah instansi penelitian kembali menawarkan teknologinya. BPPT, kata Hammam, mengusulkan kombinasi 8 tsunami buoy dan Cable Based Tsunameter (CBT) untuk kembali memperkuat Ina-TEWS.
Lebih lanjut ia mengatakan untuk mitigasi tsunami di Indonesia ditempatkan setidaknya 8 buoy di Sabang, Sukabumi, Yogyakarta, Bali, NTT, Banda, Manado, Papua. Sedangkan CBT ditempatkan di antara Lampung dan Jawa Barat sepanjang 929 kilometer (km), Surabaya dan Lombok (selatan) sepanjang 730 km, Bali dan Lombok utara sepanjang 225 km.
Selain itu, Hammam mengatakan BPPT siap merevitalisasi tiga tsunami buoy yang rusak dengan kisaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp5 miliar per buoy. Teknologi ini dapat ditempatkan di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Sementara itu, peneliti Optoelektronika dari Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko mengatakan laser tsunami sensor yang telah dikembangkannya dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tsunami buoy.
Kerja dari laser tsunami sensor ini, menurut dia, seperti cahaya melalui Fiber Optik ke laut (sensor optik diletakkan) dan cahaya balik akan membawa informasi kondisi tekanan hidrostatik yang dirasakan. Tekanan hidrostatis karena Tsunami maupun gelombang akibat lain ( kapal lewat) sehingga tidak memerlukan power supply ditengah laut, semua komponen sensor didasar laut (aman dari pencurian atau terbawa arus), biaya perawatan kecil ( didarat) dan memerlukan biaya awal yg tinggi ( Instalasi FO).
Terdapat dua tipe laser tsunami sensor yakni Fabry-Perot based Tsunami Sensor dan Fiber Bragg grating based Tsunami Sensor.
Menurut dia, jika alat tersebut dipasang di lokasi gempa di sisi selatan Pangandaran, hanya ada waktu 15 menit untuk evakuasi. Tapi bisa memberitahukan penduduk di Cilacap, Yogyakarta, Cianjur, Pelabuhan Rabu.
Lalu, menurut dia, jika alat tersebut ditempatkan di lokasi gempa atau longsoran terjadi di barat laut Donggala, maka akan ada waktu untuk memberikan peringatan bagi penduduk di Palu dan daerah lainnya.
Bambang mengatakan pembangunan Instrumentasi Kebencanaan menjadi penting (darurat) untuk alat verifikasi dan peringatan dini (harus mandiri karena kondisi alam yang berbeda). Selain itu, ada pula alternatif sensor tsunami berbasis fiber optik yang diyakini lebih efisien, mudah dalam perawatan dan mampu dibuat sendiri.
Lebih lanjut ia mengatakan harapan pengembangan alat perlu dukungan pendanaan yang berkelanjutan. Terutama untuk Laser Tsunami Meter Sistem (LTS) dengan anggaran mencapai Rp5 miliar per tahun selama tiga tahun.