logo2

ugm-logo

Kemendagri Wajibkan Pemda Terlibat Ekspedisi Desa Tangguh Bencana

BNPB Akan Lakukan Ekspedisi Detana Susuri Daerah Jawa Yang Berpotensi Tsunami, ujarnya saat di Kantor BNPB, Rabu (10/7/2019). tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Kemendagri akan memastikan pemerintah daerah (pemda) terlibat dalam ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mulai 12 Juli 2019 mendatang.

"Bukan hanya itu, tapi juga kewajiban pemerintah daerah menyiapkan kegiatan pengurangan resiko bencana," ujar Direktur Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran, Kemendagri, Safrizal saat di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Rabu (10/7/2019). Dia menerangkan, dasar hukum keterlibatan Pemda dalam kegiatan ekspedisi tersebut sudah ada, yakni tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 dan 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

"Peraturan Pemerintahnya sudah, bahkan teknisnya juga sudah ada dalam rangka memastikan kegiatan pengurangan resiko bencana ini bisa diintegrasikan dalam program pembangunan daerah," ujar dia. Baca juga: BNPB Inspeksi Sistem Peringatan Dini Tsunami Pulau Jawa Safrizal menerangkan urusan penanganan bencana perlu diprioritaskan. Bahkan, kata dia, dalam susunan hierarki, penanggulangan bencana menjadi nomor satu dalam urusan pemerintahan.

"Karena, dia [penanggulangan bencana] urusan wajib. Wajib merupakan layanan dasar dan nondasar. Bencana adalah wajib layanan dasar, memastikan daerah melakukan upaya dalam rangka memberitahu masyarakat ancaman yang berpotensi mengancam mereka," ujar Safrizal. BNPB akan melakukan ekspedisi Destana 2019 dengan menyusuri beberapa daerah di pulau Jawa yang berpotensi mengalami tsunami. Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Lilik Kurniawan menjelaskan, ekspedisi Detana 2019 ini akan dimulai dari Banyuwangi, Jawa Timur, meyusuri pantai selatan Jawa, menuju Jawa Tengah, Yogyakarta, kemudian ke Jawa Barat, Pangandaran, Garut dan berakhir di Banten. Menurut Lilik, ekspedisi Destana dilaksanakan mulai 12 Juli mendatang hingga 16 Agustus 2019. Tujuan ekspedisi ini, kata dia, untuk memotret kesiapsiagaan desa terhadap ancaman tsunami. Dia mencatat ada 5.744 desa atau kelurahan yang berada di daerah rawan tsunami. "Mulai dari kelas rawan, sedang dan tinggi. Desa-desa tersebut tersebar diantaranya 584 desa atau kelurahan ada di selatan Jawa. BNPB merespons, salah satunya dengan Ekspedisi Destana ini,” ujar dia.

Baca selengkapnya di artikel "Kemendagri Wajibkan Pemda Terlibat Ekspedisi Desa Tangguh Bencana", https://tirto.id/ed26

Antisipasi Bencana Alam

Salah seorang putra terbaik In­donesia, Sutopo Purwo Nugroho (Boyolali, 7 Oktober 1969–7 Juli 2019), Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meninggal Minggu (7/7/). Kanker paru-paru me­renggut nyawa peraih anugrah Asian Of The Year 2018 terse­but. Dia telah berjuang keras untuk mengobati penyakitnya tanpa lelah di tengah kesibu­kan kerjanya.

Kepergian Sutopo yang “mengawal” patroli penyela­matan manusia dari bencana alam, meninggalkan duka men­dalam. Dengan keberanian dan kerja kerasnya, para korban bencana alam merasa terbantu dan tertolong. Pemerintah juga berterima kasih kepadanya karena tak kenal lelah menya­jikan data dan analisis bencana serta penanggulangannya.

Kematian Sutopo seakan mengingatkan, betapa ben­cana alam Indonesia dan selu­ruh dunia, terus bergerak seja­lan dengan aktivitas manusia yang merusak alam. Pemba­ngunan yang bertumpu pada anthroposentrisme (manusia), telah mengabaikan daya du­kung ekosistem alam. Ini mem­buat manusia seakan sedang “membangun” habitatnya. Hakikatnya sedang “merusak” kelanjutan hidupnya. Itulah ironi pembangunan yang men­gabaikan daya dukung alam dan memutus rantai ekosistem bumi serta kehidupannya.

David Suzuki, environmen­talist Kanada, bertanya adakah manusia yang mampu meny­etop aliran udara, mengham­bat deraan cahaya ultraviolet, menutup atmosfir bumi dari gebrakan gas rumah kaca, dan menghentikan arus laut yang membawa polusi? Tak ada! Karena itu, berbuatlah sesuatu untuk memperbaiki kerusakan Bumi. Sekecil apa pun yang kita perbuat – mungkin hanya menyelamatkan seekor bu­rung kutilang yang kelaparan – itu sama saja ikut menyela­matkan planet bumi dari kehancuran.

Kerusakan planet bumi akibat nafsu angkara manusia mung­kin penyebabnya amat sederhana karena orang bebal membunuh seekor siamang di hutan Kalimantan, tanpa memikirkan akibatnya terhadap kehancuran hutan. Dia tidak tahu siamang adalah “penyebar” biodiversitas pa­ling efektif di hutan tropis me­lalui kotoran-kotorannya yang berserakan di mana-mana.

Tanpa siamang, hutan akan kehilangan biodiversitas, yang selanjutnya, dalam jangka pan­jang, hutan kehilangan kes­uburan dan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Jika itu terjadi, degradasi akan me­nimpa hutan tropis yang kaya keanekaragaman jenis tersebut.

Itulah sebabnya, Suzuki pu­nya motto hidup act locally, think globally. Kita berbuat baik terhadap alam di sini. Ini sama artinya memperbaiki alam di seluruh bumi. Tanam­lah pohon duwet di pekaran­gan, sebagai berkontribusi me­nyelamatkan dunia. Ini persis seperti firman Tuhan, jika kita membunuh manusia tak ber­salah, dosa sama dengan mem­bunuh seluruh umat manusia.

Hal yang sama, jika kita menyelamatkan kehidupan seorang manusia, pahalanya sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia. Ayat ini menggambarkan kondisi net­working era cyberhumanism abad ke-21 ini. Sutopo men­jadi “pengawal” penanggu­langan bencana dengan mem­berikan data dan analisis. Ini sebuah kerja besar yang penuh tantangan karena data keben­canaan terus merangsak dunia ilmu pengetahuan tanpa henti dan terus berubah. Tragis­nya, jika pun ada perubahan, menuju ke arah destruksi.

Kekeringan

Hari-hari ini, misalnya, te­ngah terjadi kekeringan di sebagian besar wilayah Indo­nesia. Ke­marau yang m e n y e n ­gat dan hilangnya sumber air, menjadi bencana rutin tahu­nan, yang kondisinya makin parah. Di Gunung Kidul, mis­alnya, 10 kecamatan: Girisubo, Rongkop, Purwosari, Tepus, Ngawen, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, dan Paliyan sedang menjerit karena keker­ingan. Kepala Badan Penang­gulangan Bencana Daerah Gunung Kidul, Edi Basuki, me­nyatakan, tahun 2019 kekerin­gan lebih parah dari tahun lalu.

Selain itu, Sungai Brantas, Bengawan Solo, Kali Cimanuk, dan Kali Citarum airnya terus menyusut. Sejumlah anak su­ngai sudah mengering. Semen­tara itu, di tingkat global, ham­paran salju di tiga kutub bumi – Arctik (kutub utara bumi), Antarctic (kutub selatan bumi), dan Mount Everest (Puncak Himalaya, kutub atas bumi) kini mulai menghilang.

Menghilangnya salju di Mount Everest, misalnya, akan menyurutkan air di sunga-sun­gai besar wilayah Hindustan dan Indocina seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Indus, Irawady, Yang Tze, Mekong dan ratusan anak sungainya. Jika sungai-sungai di Asia Se­latan tersebut mengering, ratusan juta manusia akan ke­kurangan air dan tewas men­genaskan dalam beberapa ta­hun mendatang.

Hutan tropis Indonesia adalah paru-paru Bumi yang menyuplai oksigen ke seluruh dunia. Ironisnya, oksigen dari hutan tropis Indonesia yang disuplai ke seluruh dunia ini, dibayar dengan mengalirnya udara buruk penuh polisi dari kota-kota polutif seperti Bom­bay, New Delhi, Bangkok, Bei­jing, bahkan dari kota yang amat jauh seperti Boines Aires dan Los Angeles.

Pukulan telak dari global warming pun tak terelakkan menimpa Nusantara. Keker­ingan, kebanjiran, badai, dan gelombang laut tinggi, berkali-kali menghantam wilayah In­donesia. Siapa yang harus dis­alahkan?

Seperti kata David Suzuki, tak ada kekuatan apa pun yang sanggup menghentikan aliran udara dari satu tempat ke tem­pat lain baik antarnegara mau­pun antarbenua. Karena itu­lah, bencana alam akan selalu menguntit di mana pun, jika kita tidak berbuat sesuatu un­tuk memperbaiki kelestarian planet bumi. Sekecil apa pun kebaikan terhadap alam, dam­paknya bersifat global. Meski mungkin, kita hanya memeli­hara cebong dan kampret di se­kitar rumah, dampak kebaikan makhluk ajaib tersebut akan berakibat positif terhadap ke­selestarian alam keseluruhan.

Budhha berkata, dalam dir­imu terdapat kitab suci yang paling lengkap untuk menun­tunmu ke surga kehidupan. Jika orang tak mampu berdamai dengan dirimu sendiri, maka jangan harap bisa berdamai dengan kehidupan. Al Quran menyatakan hanya jiwa-jiwa yang damai dan tenang yang mampu menuju Tuhan dengan kebahagiaan.

Bencana akan selalu men­guntit orang-orang yang tak bisa berdamai dengan diri­nya sendiri. Sedangkan dari destruksi diri sendiri yang in­dividual, bencana itu – kata David Suzuki – akan mengan­tarkan manusia pada kiamat global.

Sutopo Purwo Nugroho te­lah berjasa menginformasikan bencana-bencana alam yang muncul dan akan muncul. Rakyat Indonesia berterima kasih kepada dedikasinya yang tak pernah lelah menyelamat­kan bangsa dari bencana. Penulis Dosen Fakultas Kehutanan/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB

More Articles ...