logo2

ugm-logo

JK Soroti Fungsi Hutan Sebabkan Banjir dan Kekeringan

Foto udara banjir di Desa Labungga dan Desa Laronanga, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (18/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menyoroti mulai berkurangnya luas dan fungsi hutan di Indonesia. Menurut JK, terjadinya bencana banjir dan kekeringan di Tanah Air dalam waktu yang berdekatan, karena disebabkan beralihnya fungsi hutan.

"Kita banjir di Sultra, di Samarinda dan banyak daerah lain, di lain pihak kekeringan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Banjir dan kekeringan adalah dua hal yang penyebabnya satu yaitu masalah hutan. Akibat berkurangnya luas hutan kita," ujar JK saat hadir dalam acara Pekan Lingkungan Hidup dan kehutanan (PLHK) Tahun 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (11/7).

Menurut JK, keberadaan hutan sebagai penyeimbang antara banjir dan kekeringan saat ini makin berkurang. Akibatnya, saat musim hujan tiba, air tidak diserap maksimal karena minimnya hutan, sehingga terjadilah banjir.

Begitu pun saat musim kemarau tiba, tidak banyak cadangan air yang tersedia karena semakin sedikitnya hutan. "Maka hutan ini adalah suatu sumber utama untuk memperbaiki lingkungan di samping hal-hal yang lain tadi," ujar JK.

Karenanya, dalam kesempatan tersebut, JK menekankan perlunya perbaikan perilaku manusia terhadap hutan dan juga lingkungan. JK mengatakan hal itu demi kepentingan manusia jangka panjang.

JK menyontohkan perilaku tak bersahabat dengan lingkungan di masa lalu, telah berdampak dengan banyaknya bencana di saat ini.

"Kalau kita lihat saja contoh, kenapa banjir di Konawe dan Samarinda yang hebat, dua-duanya daerah tambang yang merusak hutan. Konawe habis hutan-hutan karena ditambang untuk nikel, di Samarinda dan sekitarnya habis juga hutan dirambah untuk batubara. Maka rusaklah Samarinda, banjirlah Samarinda dan banjirlah Konawe," ujar JK.

Untuk itu JK mengingatkan Pemerintah daerah dan masyarakat di daerah arif dalam menjaga lingkungan di wilayahnya. Meskipun, mengambil manfaat dari hutan, harus tetap memperhatikan lingkungan.

"Jadi unsur ekonomi juga tentu harus menjadi bagian utama untuk membatasi kerusakan yang terjadi, pada rakyat banyak. Mungkin saja, pajak yang diterima pemerintah daerah tambang itu tidak sebesar dari pada kerusakan dirasakan oleh rakyat. Akibat kerusakan lingkungan. Karena itulah pemerintah tentu buat tanggung jawab, atas kerusakan itu kita semua," ujar JK.

ACT dan Pakar Manajemen Bencana PBB Berikan Edukasi Mitigasi

ACT dan Pakar Manajemen Bencana PBB Berikan Edukasi Mitigasi

Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia secara geografis sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. 

Pada 2018 saja, dua ibu kota provinsi di Indonesia dilanda gempa besar: Mataram di Lombok dan Palu di Sulawesi Tengah. Ratusan penduduknya dinyatakan meninggal dunia akibat tak sempat menyelamatkan diri.

Potensi bencana besar pun mengancam kota lain dengan penduduk padat, sebut saja Bandung di Jawa Barat dengan Sesar Lembang, sementara Jakarta dengan Sesar Baribis yang masih misteri melintang di selatan ibu kota.


Melihat kondisi tersebut, pendidikan dan mitigasi bencana menjadi elemen penting bagi masyarakat Indonesia. Center of Excellence Kebencanaan, sebagai wujud pengalaman panjang ACT di bidang kebencanaan, perlu direalisasikan. 

Gagasan tersebut bahkan menjadi topik utama yang disampaikan seorang pakar manajemen bencana PBB Dr. Puji Pujiono MSW dalam acara "Sharing with The Master", Kamis (4/7).

Puji Pujiono sebagai Penasihat Senior The Pujiono Centre mengatakan sudah sepatutnya masyarakat perkotaan waspada pada ancaman bencana. Mereka perlu memahami risiko di lingkungan tempat mereka menetap.

"Pengetahuan, praktik keamanan, serta penyelamatan diri perlu dibekali ke semua penduduk, termasuk yang tinggal di perkotaan. Bencana alam tak mengenal waktu kapan akan datang. Malah terkadang masyarakat lupa, padahal tahu kalau mereka menempatkan diri di jalur bencana," ujar Puji.

Menilik kecenderungan Megatrend, sebagian besar penduduk Indonesia pada 2035 akan tinggal di perkotaan. Angkanya mencapai 85 persen. Mereka akan mendapatkan fasilitas hidup yang lebih lengkap dibandingkan pedesaan. Namun, kewaspadaan akan risiko bencana masih diabaikan.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dampak dari bencana alam serta bencana kemanusiaan yang mungkin saja terjadi setelahnya. Penyebaran informasi yang cepat dan manusia yang saling terhubung dapat mencegah risiko bencana yang besar.

Puji menyebut, ke depannya dengan memanfaatkan teknologi, masyarakat dapat semakin mudah mengunduh sendiri informasi berkenaan dengan bencana. Mereka dapat memproses dan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang didapat.

"Teknologi bakal menjadi penentu suksesnya pengurangan dampak bencana," jelasnya.

Sejauh ini, di Indonesia pemanfaatan teknologi di bidang kebencanaan sudah dilakukan. Walau belum maksimal, ini menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk hidup aman di tanah yang penuh ancaman bencana, seperti Indonesia.

Pemerintah sebagai pemilik bertanggung jawab besar atas keselamatan masyarakatnya mutlak menghindari potensi terburuk dari bencana. Puji menambahkan, kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang melibatkan masyarakat sipil juga memiliki peran besar di tengah pemerintah yang tak mampu mengatasi dampak bencana secara menyeluruh.

"Saling bersinergi, memanfaatkan teknologi menjadi solusi terbaik antara pemerintah, LSM, serta masyarakat sipil. Mereka saling melengkapi dan bekerja sama untuk menyelamatkan sesama. Walau tak jarang, pemerintah dengan LSM tak satu pandangan dalam suatu hal, tak jadi masalah. Itulah seninya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat," ungkap Puji yang pernah bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama 25 tahun.

More Articles ...