logo2

ugm-logo

Blog

Reportase : Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar di Komunitas Terhadap Kunjungan Pasien COVID-19 Rumah Sakit se-Jabodetabek dan DIY

Reportase Zoom Meeting

Presentase Duseminasi Hasil

Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar di Komunitas Terhadap Kunjungan Pasien COVID-19 Rumah Sakit se-Jabodetabek dan DIY

12 Oktober 2020

sc PSBB

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan hasil penelitian (kiri), pembahasan dari Dinkes DIY (tengah) dan Dinkes DKI (kanan)

PKMK – Yogya. Hasil penelitian ini dipaparkan oleh Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Apt dengan 3 orang pembahas yaitu dr. Darwito dari PERSI, dr. Fitri dari Dinkes DIY dan dr. Sulung dari Dinkes DKI. Regulasi terkait dengan COVID-19 oleh pemerintah DKI dan DIY, maupun pemerintah pusat sudah ada dan cukup banyak diterbitkan terutama untuk mengatur pembatasan sosial baik itu pembatasan sosial skala besar (PSBB) maupun skala komunitas. Sebelum kebijakan PSBB diberlakukan, sudah ada kebijakan pembatasan sosial di beberapa daerah, dan setelah PSBB semakin banyak aturan yang diterbitkan. Persepsi masyarakat terhadap regulasi dan pedoman yang diterbitkan pemerintah cukup baik. Sebagian besar responden menyatakan ada informasi dari tokoh masyarakat, kelurahan/RT/RW kepada masyarakat mengenai pencegahan COVID-19.Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan sosial yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah DIY dan Jabodetabek mampu menekan tingkat kunjungan pasien periode Maret hingga Juli, terlihat bahwa tidak terjadi lonjakan yang ekstrim yang melampaui kapasitas kesehatan setempat. Sehingga selama belum terjadi lonjakan kunjungan pasien dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial, dapat memberikan waktu untuk pemerintah daerah dalam upaya menyiapkan kapasitas lonjakan (surge capacity) baik berupa memperbaiki maupun meningkatkan kapasitas layanan kesehatan.

Diskusi :

Sesi diskusi membahas 3 topik secara umum yaitu terkait gambaran PSBB di DKI, gambaran pembatasan di DIY dan terkait ketaatan terhadap kebijakan yang dibentuk. dr. Sulung menyatakan sepakat dengan hasil penelitian. Memang setelah 2 minggu pelaksanaan PSBB yang pertama di Jakarta, terjadi penurunan kasus. Dan selama PSBB berlangsung dilakukan pemetaan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan sebagai kesiapan jumlah pasien semakin banyak. Masyarakat yang dihadapi bukan hanya pekerja lokal, melainkan juga banyak masyarakat yang melakukan perjalanan luar kota untuk urusan pekerjaan. Peran seluruh fasyankes perlu untuk ditingkatkan. Mungkin yang menjadi perhatian ke depannya terkait penelitian ini adalah mengenali karakteristik responden. Misalnya responden yang berusia di atas 60 tahun mungkin tidak mengetahui adanya informasi lewat media sosial atau responden yang tinggal di perumahan elit mungkin tidak mengetahui adanya informasi dari kepala RT/RW setempat. Selanjutnya terkait dengan PSBB yang disampaikan oleh dr. Fitri, DIY memang tidak menerapkan PSBB namun terdapat regulasi terkait dengan pembatasan. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) COVID di DIY tidak hanya di tingkat provinsi namun sampai dengan tingkat kabupaten, kecamatan dan tingkat desa. Pembentukan satgas ini sangat efektif. Khususnya di desa dengan adanya satgas maka terbangun pemberdayaan masyarakat. Apabila ada kasus di desa maka terbentuk koordinasi di Satgas desa dengan puskesmas. Sehingga masyarakat bekerja sama dalam penanganan COVID-19 di desa.

dr. Darwito menunjukkan gambaran terkait kebijakan PSBB, poin penting keberhasilkan kebijakan ini adalah ketaatan. Masyarakat banyak yang tidak taat disebabkan oleh factor keterbatasan pengetahuan, merasa tidak peduli dan belum menjadi prioritas hidup. Masyarakat merasa tidak peduli karena belum tersentuh dan bagi masyarakat ekonomi masih menjadi prioritas yang utama. Pengetahuan terkait COVID ini juga selalu berubah sehingga mitigasi juga berubah. Artinya komunikasi yang utama, bagaimana perubahan ini dapat disosialisaikan dengan baik kepada masyarakat. Salah satu mitigasi yang sudah ada adalah dengan adanya peraturan dan pelaksanaan atas peraturan tersebut.

Narasumber menekankan kembali penelitian ini merupakan dokumentasi dari bagaimana PSBB bisa mempengaruhi masyarakat dan bagaimana masyarakat menyikapi kebijakan PSBB. Dinkes DIY sudah memanfaatkan waktu leg seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu waktu selama belum terjadi lonjakan, pada saat PSBB dimanfaatkan untuk memperkuat kualitas pelayanan kesehatan. Dari awal pengembangan proposal sudah concern dengan juga pelayanan kesehatan untuk pasien non COVID-19. Ternyata sudah diakomodasi juga oleh Dinkes DKI, pasien non COVID-19 yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan. Penelitian tentang kebijakan bukan untuk membandingkan antara DKI dan DIY. Namun hanya mendokumentasikan bagaimana kebijakan pembatasan yang diterbitkan oleh pemenrintah lokal berdasarkan karakteristik daerahnya. Karakter masyarakat di DKI dan DIY berbeda, dari hasil penelitian ini terlihat bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah DKI bersifat top down, sementara DIY bersifat bottom up. Strategi kebijakan ini sangat tepat, misalnya di DIY tidak PSBB karena peran tokoh masyarakat di komunitas lebih banyak dan lebih kuat.

Hasil penelitian ini mendapatkan apresiasi dari pihak eksternal dan harapannya ada penelitian lanjutan melihat kasus COVID-19 terus berkembang begitu juga dengan kebijakan dan teori terkai COVID-19. Penelitian dengan menggunakan data yang lebih banyak dan lebih melibatkan sektor lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan. Penelitian ini menyarankan supaya ketaatan masyarakat dalam implementasi kebijakan pembatasan sosial lebih ditingkatkan dan informasi terkait pencegahan penyebaran COVID-19 sebaiknya lebih melibatkan masyarakat. Sehingga pemerintah daerah, petugas kesehatan dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam pencegahan penyebaran COVID-19. Fasilitas kesehatan juga aktif dalam meningkatkan layanan kesehatan sebagai kesiapan kemungkinan menghadapi lonjakan pasien.

Reporter : Happy R Pangaribuan

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

Workshop

Sistem Standar Pelayanan Minimum Kesehatan Beradaptasi Protokol Pencegahan COVID-19 dan Perspektif Manajemen Bencana bagi Puskesmas


Oktober

6 Okt

spm dr hendro

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan materi (kiri) dan peserta workshop (kanan)

            Sesi hari ini adalah pemaparan materi Sistem Penanggulangan Bencana dan Krisis Kesehatan di Indonesia oleh dr. Hendro Wartatmo. Peserta hari pertama berasal dari Puskesmas Kayangan, Puskesmas Santong, dan Puskesmas Sumur. Narasumber mengawali materi dengan menjelaskan pengertian bencana, siklus bencana terjadi dan krisis kesehatan. Dalam kesehatan baik bencana maupun krisis kesehatan puskesmas menjadi garda terdepan, artinya yang di garis depan perlu disiapkan. BNPB memiliki visi misi umum untuk menangani bencana, sementara pusat krisis kesehatan kemenkes khusus menangani bencana bidang kesehatan. Korban manusia pada bencana merupakan bentuk dari krisis kesehatan. Sementara korban krisis kesehatan tidak selalu berkaitan dengan bencana misalnya kurang makan dan wabah difteria. Puskesmas berperan pada setiap fase bencana. Pada fase pra bencana puskesmas berperan memberikan penyuluhan kesehatan dan promosi kesehatan terkait penanganan bencana. Pada fase saat bencana puskesmas melakukan respon akut untuk penanganan korban. Pada fase paska bencana puskesmas berperan untuk follow up korban dan pemulihan sistem kesehatan. Pada sistem penanggulangan bencana dan krisis kesehatan peran puskesmas dalam penanganan korban adalah sama. Secara srtuktur organisasi Puskesmas ada dibawah kendali dinas kesehatan kabupaten.

Diskusi

Beberapa pertanyaan dan sharing pengalaman yang disampaikan oleh peserta :

  1. Puskesmas Santong menanyakan bagaimana sistem kerja manajemen kebencanaan di puskesmas dan struktur kerjanya. Narsumber menyampaikan bahwa ini akan disusun dan merupakan salah satu output dari workshop. Sistem manajemen bencana di puskesmas bisa disiapkan dengan menyusul puskesmas disaster plan. Didalam dokumen tersebut akan ada pembagian tugas, sistem pelaporan dan fasilitas.
  2. Manajemen bencana di puskesmas harus melibatkan dinas kesehatan kabupaten karena merekalah yang menjadi kster Plan ini harus dengan persetujuan dinas kesehatan. Di Kemenkes sudah ada pedoman penanggulangan bencana, namun masih sampai ke kabupaten. Belum ke puskesmas sementara puskesmas adalah ujung tombaknya.
  3. Puskesmas Sumur menyampaikan bahwa wilayah Puskesmas Sumur termasuk zona merah bencana. Masalah yang dihadapi dulu adalah kekurangan tenaga medis dan bantuan terlambat datang. Kemudian komunikasi juga terputus. Pada saat itu para relawan baru datang ke puskesmas sumur setelah hari ketiga pasca bencana. Dengan kondisi tersebut narasumber menjelaskan bahwa perlu membuat jaringan komunikasi, misalnya ketika ada bencana komunikasinya kemana, puskesmas menghubungi siapa. Periode pelaporanselama 24 jam. Di rumah sakit yang selalu ada adalah dokter UGD. Penting juga membentuk tim gerak cepat
  4. Puskesmas Santong menanyakan kembali kepada siapa mereka berkoordinasi, apakah ke BPBD atau Dinas Kesehatan. Koordinasi harus ke Dinas Kesehatan Kabupaten. Puskesmas dibawah kendali ke Dinas Kesehatan Kabupaten. Selain disusun tupoksi masing-masing orang, sistem kerjanya juga harus disiapkan. Dalam dokumen PDP harus disusun secara detail. Pada kondisi bencana tidak ada libur. Tim Gerak Cepat (TGC) bisa menjadi bagian tim kebencanaan, nanti mereka masuk ke bagian tim operasionalnya.

Reporter : Happy R Pangaribuan

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

 

 

November

11 - 12 Nov

Puskesmas Tompe Kab. Donggala

11 - 12 November 2020

puskesmas protokol covid3

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan Materi Perhitungan teknis SPM Kesehatan Bencana dan Krisis kesehatan (kiri) dan Perhitungan Analisis Risiko (kanan) di Puskesmas Tompe”

Pertemuan ini berlangsung selama dua hari yang berfokus untuk mempelajari dan berdiskusi terkait Sistem Pelayanan Minimum (SPM) Kesehatan dari perspektif bencana dan krisis kesehatan. Peserta yang mengikuti sekitar 12 orang yang terdiri dari staff KTU, dokter IGD, dan penanggung jawab program kesehatan masyarakat. Metode pengajaran yang diberikan secara on-site dan melalui virtual. Peserta akan mendapatkan 3 sesi materi selama dua hari yaitu (1) Kebijakan dan Indikator SPM Kesehatan Bencana dan Krisis Kesehatan oleh Gde Yulian Yogadhita M.Epid, Apt; (2) Perencanaan Penanggulangan Bencana dan Krisis Kesehatan oleh dr. Bella Donna, MPH; (3) Perhitungan teknis SPM oleh Madelina Ariani, MPH.

Rabu, 11 November 2020

Pada pertemuan pertama Happy R Pangaribuan, MPH menyampaikan hasil survei awal ceklis SPM kesehatan bencana dan krisis kesehatan di Puskesmas Tompe. Dari penjelasan Kepala Puskesmas, SPM Kesehatan pennaggulangan krisis kesehatan masih baru bagi mereka. Namun kalau SPM kesehatan secara umum, sudah menjadi perkerjaan sehari - hari puskesmas. Demikian halnya dengan program - program terkait penanggulangan bencana dan krisis kesehatan, puskesmas Tompe belum memiliki tim khusus bencana dan struktur organisasi saat bencana. Selama ini penanganan bencana yang dilakukan hanya pada fase tanggap darurat dan itu dilakukan berdasakan tugas dan fungsi masing - masing bidang. Pasca bencana gempa lalu, puskesmas dibantu oleh Yayasan YSTC untuk penanganan gizi darurat.

Selanjutnya pemaparan materi Perencanaan Penanggulangan Bencana dan Krisis Kesehatan oleh dr. Bella Donna. Pada sesi awal materi, dr. Bella menunjukkan kurva pandemic COVID-19. Dari kurva terlihat jelas pandemic COVID-19 belum berakhir dan kasus masih meningkat setiap harinya. Mengapa penting puskesmas menyusun dokumen disaster plan? Dokumen ini akan membantu puskesmas dalam penanganan bencana dan krisis kesehatan termasuk saat pandemi sekarang ini. Pada dokumen puskesmas disaster plan akan tercantum kebijakan, profil puskesmas (singkat), analisis risiko, struktur organisasi saat bencana, pembagian tugas, fasilitas dan SOP. Artinya sudah ada dokumen sebagai panduan puskesmas yang operasional saat melakukan penanganan bencana dan krisis kesehatan. Dalam sesi ini juga peserta melakukan penugasan analisis risiko dan sistem pengorganisasian. Dari hasil analisis risiko didapatkan 3 jenis bencana yang dihitung yaitu bencana banjir, gempa dan COVID-19.

Kamis, 12 November 2020

Hari kedua materi diawali oleh pemaparan mengenai regulasi terkait standar pelayanan minimum di Puskesmas oleh apt.Gde Yulian Yogadhita, M.Epid., ada tiga peraturan menteri yang dipresentasikan yaitu Permendagri Nomor 101 Tahun 2018, Permenkes Nomor 4 Tahun 2019 tentang SPM dan Permenkes Nomor 75 Tahun 2019 tentang Krisis Kesehatan. Fokus materi presentasi ada pada regulasi terakhir dimana regulasi ini diharapkan dapat memberikan panduan untuk puskesmas dalam            memenuhi indikator SPM meskipun dalam situasi bencana atau krisis kesehatan. Pada sesi ini juga disampaikan contoh bagaimana Puskesmas dapat berkontribusi dalam perhitungan teknis SPM krisis kesehatan dan KLB yang dibutuhkan provinsi, walau definisi operasional dari komponen - komponen perhitungan masih perlu didiskusikan dengan Dinas Kesehatan Propinsi lebih lanjut. Sesi selanjutnya adalah analisis risiko dan HVA yand disampaikan oleh Madelina Ariani, SKM., MPH., di sesi ini pemateri mengajak partisipasi aktif dari peserta workshop untuk menentukan risiko yang menjadi prioritas penanggulangan krisis kesehatan di wilayah kerja puskesmas Tompe dan memberikan penjelasan mengenai alur informasi dan pembuatan peta respon. Kemudian sesi dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak lanjut (RTL) sesuai dengan risiko yang sudah diidentifikasi sebelumnya.

Pada pembahasan RTL, peserta workshop dari puskesmas Tompei menyebutkan adanya kejelasan mengenai logistik, obat - obatan, tenda, kendaraan, selimut, air, peralatan pertolongan pertama, air kemasan botol, tenda pengungsian, tenda pelayanan medis, makanan/minuman untuk kesiapsiagaan maupun penanggulangan krisis kesehatan terkait dampak gempa, sementara untuk COVID-19 mereka menyebutkan diperlukan kejelasan mengenai APD, obat - obatan, vaksin, swab, rapid, hand sanitizer, pemeriksaan berkala, masker, vitamin, cairan antiseptik untuk dapat dibahas dalam dokumen kesiapsiagaan bencana puskesmas (puskesmas disaster plan), untuk bahan habis pakai diharapkan mekanisme dan SOP pengadaan via kemitraan dan pengajuan ke dinas Kesehatan menjadi potensi sumber daya yang perlu dipetakan dan didokumentasikan di rencana yang akan disusun.

Reporter : Happy R Pangaribuan dan Gde Yulian Yogadhita

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

 

Materi: Bencana dan Krisis Kesehatan-2020

Reportase

Zoom Meeting

Hasil Penelitian

DAMPAK PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DI KOMUNITAS TERHADAP KUNJUNGAN PASIEN COVID-19 RUMAH SAKIT JABODETABEK dan DIY

Yogyakarta, 26 Agustus 2020 | 13.00 – 15.00 WIB


zoom psbb

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Presentase dan pembahasan dampak PSBB di komunitas terhadap kunjungan pasien COVID-19”

Presentasi ini bertujuan untuk menyampaikan update mengenai proses jalannya penelitian dan hasil yang sudah dikumpulkan dan dituliskan dalam pembahasan penelitian, termasuk sejumlah kendalanya. Sesi ini juga membuka masukan dari masyarakat untuk pembahasan yang sudah disajikan tim peneliti dan pengemasan rekomendasi untuk pengambil kebijakan maupun masyarakat. Hasil penelitian dipaparkan oleh Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Apt dan dibahas oleh dr. Pandu Riono dan Dr. dr. Darwito, Sp.B(K)Onk. Terdapat sebanyak 72 akun yang bergabung dalam zoom ini.

Sesi 1 : Pemaparan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini diperoleh produk hukum/kebijakan penanganan COVID-19 sebanyak 241 kebijakan dimana 100 diantaranya tentang kebijakan pembatasan sosial. Terdapat 12 kebijakan di D.I. Yogyakarta yang secara tidak langsung membatasi aktivitas masyarakat. Ada 48 kebijakan pencegahan dan penanganan COVID-19 di DKI Jakarta, dimana 21 kebijakan tersebut secara tidak langsung mengatur mengenai pembatasan aktivitas masyarakat sebelum & setelah ditetapkan kebijakan PSBB di wilayah Jakarta. Ada sanksi yang diberlakukan dalam penerapan kebijakan PSBB di DKI Jakarta. Selama pemberlakukan kebijakan pembatasan sosial pada Maret - Juli, kunjungan pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan penanganan COVID-19 masih meningkat. Namun meskipun demikian kebijakan pembatasan sosial ini mampu menekan kunjungan pasien sehingga tidak terjadi lonjakan. Kondisi ini memberikan waktu bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan surge capacity kapasitas kesehatan. Pemerintah daerah cukup responsive dan kebijakan yang dikeluarkan cukup adaptif. Akan tetapi kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah masih kurang dapat dikomunikasikan oleh perangkat pemerintahan terbawah seperti ketua RT dan RW ke masyarakat.

Sesi Pembahasan

               Pembahas I Dr. dr. Darwito, Sp.B(K)Onk menekankan 2 poin penting yang harus diperbaiki berdasarkan hasil penelitian yaitu pengawal implementasi kebijakan dan sosialisasi kebijakan. Kebijakan pembatasan sosial ini perlu dikawal. Seluruh komponen masyarakat harus bersatu padu dalam menangani COVID-19. Proses penanganan COVID-19 ini juga tergantung oleh masyarakat, rumah sakit sebagai hilir yaitu hanya menerima pasien. Jika masyarakat dari hulu tidak dikawal maka akan semakin banyak yang terkena dampak sehingga kemungkinan rumah sakit semakin penuh dan bisa jadi akan terjadi lonjakan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kepada masyarakat tanpa dikawal maka akan sia - sia. Siapa yang mengawal peraturan ini? Misalnya yang mengawal pak RT atau Pemda punya aparat khusus. Selanjutnya terkait sosialisi, dengan adanya PSBB mestinya ada dampaknya yaitu yang diharapkan terdapat penurunan kasus. Harus ada sinkronisasi, semua komponen harus terlibat, ini perang semesta.

            Pembahas II dr. Pandu Riono lebih menekankan pembatasan sosial yang bersifat lokal. Dalam UU Karantina salah satunya yang dibahas adalah PSBB. Dampak PSBB ini diharapkan jauh lebih besar berdampak pada non kesehatan. Indikator PSBB ini juga bisa dilihat dari berapa persen masyarakat tinggal di dalam rumah. Dalam 2 minggu saja masyarakat taat tinggal di dalam rumah, akan terlihat tidak terjadi peningkatan kasus. Namun yang menjadi masalah kegiatan keagamaan, pekerjaan, kejenuhan dan faktor lainnya mengakibatkan masyarakat harus keluar rumah. Dampak yang diakibatkan PSBB terhadap sosial ekonomi dan layanan kesehatan lainnya itu besar sekali. PSBB mungkin tidak pilihan untuk Indonesia, namun ada pembatasan sosial yang bersifat lokal. Pandemi ini berlangsung lama, kemungkinan hingga 3 - 4 tahun lagi. Layanan kesehatan publik yang esensial harus dipulihkan dengan cepat. Banyak petugas kesehatan yang masih khawatir. Artinya perlu dilakukan reformasi sistem pelayanan kesehatan untuk 5 tahun ke depan, pelayanan kesehatan masyarakat seperti apa yang harus dilakukan selama pandemi ini. Ini erat hubungannya dengan ketahanan pangan juga.

 

Penutup

Masyarakatlah yang menjadi garda terdepan untuk mengatasi pandemi COVID-19 ini. Masyarakat yang dilibatkan sejak awal penanganan COVID-19. Kebijakan pembatasan sosial yang dikeluarkan pemerintah harus dikawal supaya masyarakat paham dan patuh. Perlu diperhatikan juga mengenai koherensi regulasi yang lain, seperti test, lacak dan isolasi (TLI) dan kepatuhan masyarakat menjaga jarak, menggunakan masker, dan mencuci tangan (3 M).

 

Reporter : Happy R Pangaribuan

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

 

Download Materi

Reportase

Workshop Online

Training of Trainer (TOT) PSC 119 Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah dalam Penanganan Kasus Emergensi

Yogyakarta, 24-25 Juni 2020


tot sulteng1

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan Materi Peran PSC dalam sistem EMS”

TOT PSC 119 Dinkes Provinsi Sulteng dilaksanakan berdasarkan pembelajaran table top exercises (TTX) dokumen perencanaan penanggulangan bencana Dinkes Provinsi Sulteng yang dilaksanakan pada Februari 2020. TOT ini bertujuan untuk menguatkan untuk menguatkan peran fungsi PSC 119 dan tim unit P2KT dalam penanganan kasus emergensi mulai dari penerimaan informasi, alur komunikasi, sistem koordinasi dan pengetahuan tentang kasus emergensi. Jumlah peserta yang mengikuti dan tercatat registrasi via webinar sebanyak 52 titik yang berasal dari PSC 119 Dinkes Prov. Sulteng, PSC 119 Dinkes Kab. Tolitoli Sulteng, PSC 119 Dinkes Kab. Poso Sulteng, PSC 119 Dinkes Kabupaten Tojo Una-Una Sulteng dan PSC 119 Dinkes Kabupaten Banggai, Sulteng.

Rabu, 24 Juni 2020

Pada sesi pembukaan PKMK FK - KMK UGM diwakilkan oleh dr. Bella Donna, M.Kes menyampaikan bahwa konsep dan sistem operasi PSC 119 harus kuat. Tim PSC 119 menjadi garda terdepan dan terpercaya bagi masyarakat ketika membutuhkan informasi pertolongan. Kepala UPT P2KT menginformasikan PSC 119 awalnya sudah ada dengan sebutan Sulteng Emergency Service 119 tahun 2012 dibawahi bidang pelayanan kesehatan Dinkes. Kemudian terus berkembang dan berinovasi hingga tahun 2019 disebut PSC 119 dibawahi bidang UPT P2KT Dinkes. Kendala yang sering dihadapi adalah SOP belum selesai sesuai kebutuhan, meskipun sebenarnya operasi PSC 199 ini sudah berjalan sesuai prosedur.

Selanjutnya pemaparan materi pertama tentang Peran Public Safety Center (PSC) sebagai ujung tombak sistem Emergency Medical Service (EMS) di Indonesia oleh dr. Ali Haedar, Sp.EM. Pemateri menekankan bahwa PSC merupakan ujung tombak sistem ECS. Sebagai upaya pertama, EMS memberikan perawatan di tempat kejadian dan jika dianggap perlu mereka ditugaskan untuk mengantar pasien ke fasilitas perawatan berikutnya. Sistem EMS di Indonesia adalah Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dengan National Command Center (NCC) sebagai pusat call center dan PSC sebagai penyedia layanan ambulans. EMS berperan untuk meminimalkan outcome yang buruk, mortalitas dan mobiditas jangka panjang. Terdapat 15 komponen esensial EMS yang penting dikuasai dan dimiliki oleh PSC untuk bisa beroperasi dengan baik. Beberapa komponen tersebut diantaranya adalah personel, pelatihan, komunikasi, transportasi, fasilitas, unit perawatan lanjutan, public safety agency, partisipasi masyarakat, akses mendapatkan perawatam, dan seterusnya.

Pemaparan materi kedua tentang Pedoman Teknis Ambulan disampaikan oleh Sutono, S.Kp, M.Sc, M.Kep. Penggunaan ambulans untuk memberikan pertolongan pasien gawat darurat pra fasilitas pelayanan kesehatan. PSC 119 umumnya memiliki jenis ambulans darat. Ambulans tersebut digunakan untuk pengangkutan pasien gawat darurat dari lokasi kejadian (pra fasyankes) ke fasilitas pelayanan kesehatan (transfer primer). Jenis ambulans ini ada 3 yaitu ambulans darat, ambulans air, dan ambulans undara dimana masing - masing ambulans tersebut memiliki spesifikasi interior dan eksterior yang berbeda. Hal yang paling penting adalah ambulans semestinya berisi peralatan lengkap sesuai standar dan terorganisir secara efisien dengan komunikasi dan teknologi yang dapat membawa kelengkapan medis yang dibutuhkan, personel dan tindakan advanced life support ke lokasi kejadian darurat.

tot sulteng2

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan Materi Manajemen Informasi dan Alur Komunikasi”

Pemaparan materi ketiga tentang Manajemen Informasi dan Alur Komunikasi oleh Apt. Gede Yulian Yogadhita, M.Epid. Komunikasi penyampaian informasi harus mencakup 5W + 1H (apa, siapa, kenapa, kapan, dimana, dan bagaimana) dalam manajemen situasi gawat darurat. PSC 119 penting untuk menyiapkan pedoman komunikasi dalam bentuk Standar Prosedur Operasional (SPO) eksternal dan internal. SPO eksternal ini untuk mengakses masyarakat dan fasilitas kesehatan sementara SPO internal ini bisa berupa pengaturan operasi ambulans. Keberhasilan penyelenggaraan SPGDT tergantung dari keberhasilan sistem komunikasi gawat darurat, sistem penanganan korban/pasien gawat darurat dan sistem transportasi gawat darurat yang harus saling terintegrasi satu sama lain.

Diskusi

Pada sesi diskusi ini peserta menyampaikan kondisi PSC 119. PSC 119 Dinkes Kab. Tolitoli Sulteng masih baru dan setiap hari belum tentu masuk panggilan. Kemudian yang penting dipersiapkan sekarang adalah protokol khususnya dalam pengoperasian ambulans. Misalnya kapan petugas ambulans menghubungi medical director, pengaturan ke faskes terdekat dan sebagainya. PSC 119 Dinkes Provinsi Sulteng menyampaikan kendala mereka adalah koordinasi belum maksimal. Jika ada kecelakaan dan menghubungi PSC 119, hal yang dilakukan adalah triase, kemudian mengantarkan pasien ke RS terdekat. Koordinasi untuk respon cepat antara PSC 119 dengan rumah sakit yang penting untuk ditingkatkan.

 

Kamis, 25 Juni 2020

Hari kedua adalah pengembangan skenario. Fasilitator menyampaikan 2 kasus skenario yang dibahas oleh peserta. Peserta diberi waktu 10 - 15 menit untuk membahas kasus.

tot sulteng31

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Penyampaian hasil diskusi kasus dari PSC 119 Dinkes Kab. Tolitoli Sulteng”

Kasus 1: Situasi sore hari di waktu yang hampir bersamaan ada lima telepon masuk dari lima lokasi berbeda, dua kejadian kecelakaan lalu lintas di sekitar alun alun, serangan jantung di bandara, luka bakar di perumahan penduduk dan sesak nafas di perkantoran. Peserta mendiskusikan bagaimana call center memanage lima panggilan ini dan protokol/ algoritma apa yang disiapkan PSC untuk situasi ini.

Kasus 2 : Pada telepon yang menginformasikan kejadian serangan jantung di bandara, setelah diverifikasi Call Center, ternyata korban baru saja melakukan perjalanan dari daerah zona merah COVID-19 sementara di sekitar TKP ada tenaga medis (perawat tapi bekerja sebagai teller di bank). Peserta mendiskusikan bagaimana PSC memandu penelpon untuk mengusahakan pertolongan sementara sambil menunggu ambulan atau tenaga medis yang diterjunkan ke lapangan, sesuai dengan informasi yang diberikan narasumber. Kemudian protokol kesehatan apa saja yang diterapkan, baik oleh petugas maupun oleh masyarakat (dipandu via telepon).

 

MATERI

Sesi 1 ADAPTASI PANDEMI COVID THD KEBIJAKAN RENKON

Sesi 2 Laporan Pendampingan Penguatan Sistem Manajemen dan Kapasitas SDM Kesehatan pasca Bencana Sulawesi Tengah 2019-2020

Sesi 3 Hasil Pendampingan Rencana Penanggulangan Bencana Sektor Kesehatan Dinkes - Copy

 

Reporter : Happy R Pangaribuan

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

Reportase Zoom

Diskusi Daring Update Penanganan COVID-19 di Puskesmas Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah

8 Juni 2020

 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM Divisi Manajemen Bencana Kesehatan bekerja sama dengan Caritas Germany

 

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Diskusi daring update penanganan COVID-19 di Puskesmas Kab.Sigi”

            PKMK FKKMK UGM bekerja sama dengan Caritas Germany telah melakukan program pendampingan rutin dalam menguatkan sistem manajemen dan kapasitas SDM kesehatan pasca bencana Sulawesi Tengah sejak April 2019. Diskusi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan Puskesmas dalam penanganan COVID-19 di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Kegiatan diawali dengan menyampaikan materi sebagai refreshing bagaimana peran Dinas Kesehatan dalam penanganan COVID-19, khususnya dalam proses pendampingan puskesmas. Materi ini disampaikan oleh dr. Bella Donna M.Kes. Dinkes Kab. Yang ditekankan dalam materi tersebut adalah dinkes mampu mengoperasionalkan dokumen renkon yang sudah dimiliki menjadi rencana operasi yang operasional dalam penanganan bencana COVID-19. Core kapasitas yang yang disyaratkan berdasarkan International Health Regulation 2005 (IHR) adalah kebijakan, koordinasi, surveilans, respon, kesiapsiagaan, komunikasi risiko, SDM dan laboratorium.

 

Puskesmas Biromaru Sigi

Sejauh ini situasi untuk penanganan COVID-19 masih kondisif, masyarakat yang diperiksa kooperatif. Namun masih ada stigma dari beberapa masyarakat sehingga warga yang sedang karantina dikucilkan. Kondisi APD di Puskesmas Biromaru lengkap. Rapid test yang kurang khususnya rapid test untuk tenaga kesehatan. Apalagi sekarang masyarakat sekarang semakin banyak ingin melakukan perjalanan. Setiap hari hampir 50 masyarakat yang meminta surat berbadan sehat. Ada penambahan di surat berbadan sehat, tidak dilakukan rapid test sehingga masyarakat tidak bisa menuntut puskesmas jika selama perjalanan disuruh pulang. Kegiatan pencegahan dan pelayanan COVID ini menggunakan dana BOK ke masyarakat dan sudah berjalan. Kasus rapid test awal terdapat 1 orang positif namun setelah di swab 2 kali, sudah negative.

Kendala lainnya yang dihadapi puskesmas adalah banyak masyarakat menengah kebawah yang melakukan proses karantina sehingga mereka sering complain tentang makanan. Sejak lebaran terdapat 450 yang dikarantina dibawah pengawasan Puskesmas Biromaru dan sekarang tersisa sekitar 16 orang yang dikarantina. Skrining pasien dilakukan di depan puskesmas, sebelum masuk cuci tangan kemudian ditanya riwayat perjalanan, kemudian diukur suhu dan therapy langsung dilakukan didepan puskesmas. Setiap melakukan kunjungan ke masyarakat, APD dipakai di dalam rumah masyarakat. Karena kalau dilakukan secara terbuka, masyarakat langsung mengucilkan. Puskesmas juga berkoordinasi ke kepada desa dan kepala dusun supaya membantu warga yang sedang dikarantina. APD yang digunakan adalah APD level 3. Puskesmas membutuhkan relawan untuk educator masyarakat.

“Diskusi kebutuhan dan kendala yang dihadapi Dinkes Kab. Sigi dan Puskesmas Biromaru”

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi

Kondisi penanganan Covid di Kabupaten Sigi adalah jumlah ODP 30 kasus, PDP 13 kasus, OTG 3 kasus dan ada 3 positif konfirmasi dan ketiganya sudah dikatakan sembuh. Kasus tersebut di wilayah kerja puskesmas marawola (2 orang) dan 1 orang puskesmas Tinggede. Sekarang yang menjadi kendala adalah kekurangan rapid test. Setiap Tim Penyelidikan Epidemiologi yang di puskesmas didampingi oleh tim surveilans dari Dinkes untuk menentukan apakah orang tersebut perlu dilakuka rapid test atau tidak. Pemeriksaan laboratorium memanfaatkan laboratorium provinsi, jika di provinsi sudah penuh maka diarahkan ke Makasar. Laboratorium di Kab. Sigi belum berfungsi. Pengambilan swab dilakukan RSUD kemudian dikirim ke laboratorium.

Kondisi APD sekarang di semua puskesmas Kab. Sigi ada yang diberikan oleh Dinkes namun dari puskesmas juga menyediakan sendiri. Dinkes membantu puskesmas untuk ketersediaan analis laboratorium. Beberapa puskesmas melakukan skrining di dalam dan luar gedung, namun rumah sakit melakukan skrinning di luar gedung. Jumlah masyarakat yang melakukan perjalan dari semua puskesmas wilayah kerja Kab. Sigi. 2400 orang.

 

Penutup

Puskesmas Biromaru menyampaikan bahwa mereka membutuhan informasi tentang relawan educator masyarakat sehingga stigma bisa terkendalikan. Kemudian Dinkes Sigi juga menambahkan bahwa, pendampingan masyarakat menjadi sasaran sekarang ini terkhusus masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Marawola, Puskesmas Tinggede dan Puskesmas Biromaru.

 

Reporter :

Happy R Pangaribuan

PKMK FK-KMK UGM Divisi Manajemen Bencana Kesehatan