Pada Senin, 8 September 2025, gemeretak retakan tanah kembali menjadi nyanyian menakutkan yang membangunkan warga Kampung Cipasung—terutama Habsah (50) yang kini kehilangan rumahnya sepenuhnya akibat pergerakan tanah. Di Desa Sukarendah, Kecamatan Warunggunung, ketakutan menyelimuti tiap malam: suara retakan yang membelah dinding dan lantai, warga terpaksa tidur hanya dalam seujung dapur, sebab setiap sudut rumah terasa mungkin roboh seketika beritasatu.com.
Kondisi ini menggambarkan kegagalan sistemik pemerintah—baik pusat maupun daerah—dalam memberikan perlindungan terhadap warganya. Bantuan sembako memang penting, namun tidak cukup. Seorang warga lansia yang menempati dapur bukan karena memilih, melainkan karena ketidakmampuan membangun ulang rumahnya sendiri; pemerintah seakan hanya mengobati gejala, tanpa menyentuh akar masalah: kebutuhan paling mendasar—tempat tinggal yang layak beritasatu.com.
Kegagalan Relokasi dan Rehabilitasi
Fenomena pergerakan tanah di Lebak bukan baru. Antara 2022–2024, berbagai laporan menyebut puluhan hingga ratusan rumah sudah terdampak, hanya sebagian kecil yang mendapatkan relokasi. Dari 41–42 rumah terdampak di Desa Sidomanik (Cimarga), mayoritas menolak relokasi karena lokasi baru terlalu jauh Antara News Banten+1. Sementara di lokasi lain seperti Cidikit (Bayah), Penyaungan (Cihara), dan Neglasari (Cibeber), korban masih tinggal di pengungsian karena rumah rusak berat; logistik diberikan, tapi perumahan layak belum tersedia Antara News Banten.
Walau BPBD berupaya membantu, termasuk penelitian teknis bersama PVMBG Bandung, prosesnya lambat dan tidak responsif terhadap urgensi di lapangan ANTARA NewsAntara News BantenANTARA News Sulteng. Masyarakat kehilangan rumah, rasa aman, dan ketenangan—sementara pemerintah hanya menunggu “hasil rekomendasi” yang datang terlambat.
Membangun Ketangguhan, Bukan Sekadar Reaksi
Apa yang diperlukan saat ini bukan sekadar bantuan sementara. Relokasi yang jauh tanpa dukungan logistik dan finansial hanyalah jebakan. Rehabilitasi perlu dilakukan dengan prioritas pada keamanan struktural dan aksesibilitas. Lebih dari itu, mitigasi bencana harus menjadi agenda serius: penataan ulang pemukiman di zona aman, edukasi kesadaran bencana, dana darurat yang bisa diakses cepat, dan kolaborasi lintas lembaga untuk pemantauan dini.
Pemerintah harus mengubah paradigma dari “memberi bantuan” ke “menjamin keselamatan dan masa depan”. Bantuan hari ini punya batas waktu—tetapi ketakutan akan kehancuran rumah bukanlah bencana sesaat. Mereka butuh bangunan yang tak hanya berdiri kuat, tetapi juga memberi ketenangan untuk tinggal, tidur, dan bermimpi tanpa cedera.
Memanggil Nurani, Mengembalikan Rasa Aman
Warga Lebak, yang tinggal di pegunungan, perbukitan, dan aliran sungai—jantung alam yang indah sekaligus rapuh—selama ini hanya berharap satu hal: agar tanah di bawah rumah mereka tidak bergerak membentuk jurang. Kini, saat rumah-rumah mereka sedang retak dan malam-malam penuh gemeretak, damai tertukar menjadi ketakutan akut.
Pemerintah—baik eksekutif maupun perencana—harus bergerak cepat dan konkret: selamatkan warga dari kehancuran rumah, selamatkan mereka dari ketakutan.
kompilasi dari berbagai sumber:
Berikut naskah editorial berdasarkan berita **“Bencana Pergerakan Tanah, Warga Lebak Dilanda Ketakutan”** (dipublikasikan Beritasatu, 9 September 2025):
---
## **Editorial: Rumah Runtuh, Harapan Gugur — Saat Rakyat Tetap Terabaikan di Tengah Bencana**
Pada Senin, 8 September 2025, gemeretak retakan tanah kembali menjadi nyanyian menakutkan yang membangunkan warga Kampung Cipasung—terutama Habsah (50) yang kini kehilangan rumahnya sepenuhnya akibat pergerakan tanah. Di Desa Sukarendah, Kecamatan Warunggunung, ketakutan menyelimuti tiap malam: suara retakan yang membelah dinding dan lantai, warga terpaksa tidur hanya dalam seujung dapur, sebab setiap sudut rumah terasa mungkin roboh seketika ([beritasatu.com][1]).
Kondisi ini menggambarkan kegagalan sistemik pemerintah—baik pusat maupun daerah—dalam memberikan perlindungan terhadap warganya. Bantuan sembako memang penting, namun tidak cukup. Seorang warga lansia yang menempati dapur bukan karena memilih, melainkan karena ketidakmampuan membangun ulang rumahnya sendiri; pemerintah seakan hanya mengobati gejala, tanpa menyentuh akar masalah: kebutuhan paling mendasar—tempat tinggal yang layak ([beritasatu.com][1]).
### **Kegagalan Relokasi dan Rehabilitasi**
Fenomena pergerakan tanah di Lebak bukan baru. Antara 2022–2024, berbagai laporan menyebut puluhan hingga ratusan rumah sudah terdampak, hanya sebagian kecil yang mendapatkan relokasi. Dari 41–42 rumah terdampak di Desa Sidomanik (Cimarga), mayoritas menolak relokasi karena lokasi baru terlalu jauh ([Antara News Banten][2]). Sementara di lokasi lain seperti Cidikit (Bayah), Penyaungan (Cihara), dan Neglasari (Cibeber), korban masih tinggal di pengungsian karena rumah rusak berat; logistik diberikan, tapi perumahan layak belum tersedia ([Antara News Banten][3]).
Walau BPBD berupaya membantu, termasuk penelitian teknis bersama PVMBG Bandung, prosesnya lambat dan tidak responsif terhadap urgensi di lapangan ([ANTARA News][4], [Antara News Banten][5], [ANTARA News Sulteng][6]). Masyarakat kehilangan rumah, rasa aman, dan ketenangan—sementara pemerintah hanya menunggu “hasil rekomendasi” yang datang terlambat.
### **Membangun Ketangguhan, Bukan Sekadar Reaksi**
Apa yang diperlukan saat ini bukan sekadar bantuan sementara. Relokasi yang jauh tanpa dukungan logistik dan finansial hanyalah jebakan. Rehabilitasi perlu dilakukan dengan prioritas pada keamanan struktural dan aksesibilitas. Lebih dari itu, mitigasi bencana harus menjadi agenda serius: penataan ulang pemukiman di zona aman, edukasi kesadaran bencana, dana darurat yang bisa diakses cepat, dan kolaborasi lintas lembaga untuk pemantauan dini.
Pemerintah harus mengubah paradigma dari “memberi bantuan” ke “menjamin keselamatan dan masa depan”. Bantuan hari ini punya batas waktu—tetapi ketakutan akan kehancuran rumah bukanlah bencana sesaat. Mereka butuh bangunan yang tak hanya berdiri kuat, tetapi juga memberi ketenangan untuk tinggal, tidur, dan bermimpi tanpa cedera.
### **Memanggil Nurani, Mengembalikan Rasa Aman**
Warga Lebak, yang tinggal di pegunungan, perbukitan, dan aliran sungai—jantung alam yang indah sekaligus rapuh—selama ini hanya berharap satu hal: agar tanah di bawah rumah mereka tidak bergerak membentuk jurang. Kini, saat rumah-rumah mereka sedang retak dan malam-malam penuh gemeretak, damai tertukar menjadi ketakutan akut.
Pemerintah—baik eksekutif maupun perencana—harus bergerak cepat dan konkret: selamatkan warga dari kehancuran rumah, selamatkan mereka dari ketakutan.
---
Semoga editorial ini dapat memperkuat sorotan terhadap krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung dan mendorong tindakan nyata dari pemangku kebijakan.
[1]: https://www.beritasatu.com/banten/2920684/bencana-pergerakan-tanah-warga-lebak-dilanda-ketakutan "Bencana Pergerakan Tanah, Warga Lebak Dilanda Ketakutan"
[2]: https://banten.antaranews.com/berita/273342/warga-lebak-korban-pergerakan-tanah-tingkatkan-kewaspadaan-saat-hujan?utm_source=chatgpt.com "Warga Lebak korban pergerakan tanah tingkatkan kewaspadaan saat hujan - ANTARA News Banten"
[3]: https://banten.antaranews.com/berita/313939/warga-lebak-diingatkan-tetap-waspadai-bencana-pergerakan-tanah?utm_source=chatgpt.com "Warga Lebak diingatkan tetap waspadai bencana pergerakan tanah - ANTARA News Banten"
[4]: https://www.antaranews.com/berita/4524070/puluhan-rumah-di-lebak-alami-kerusakan-akibat-pergerakan-tanah?utm_source=chatgpt.com "Puluhan rumah di Lebak alami kerusakan akibat pergerakan tanah - ANTARA News"
[5]: https://banten.antaranews.com/berita/237768/warga-kabupaten-lebak-diminta-waspada-pergerakan-tanah-akibat-cuaca-ekstrem?utm_source=chatgpt.com "Warga Kabupaten Lebak diminta waspada pergerakan tanah akibat cuaca ekstrem - ANTARA News Banten"
[6]: https://sulteng.antaranews.com/berita/239993/43-rumah-di-lebak-terdampak-pergerakan-tanah?utm_source=chatgpt.com "43 rumah di Lebak terdampak pergerakan tanah - ANTARA News Sulteng"