logo2

ugm-logo

Blog

Jangan Panik! Ini Saran Pasien yang Sembuh dari Corona

Jakarta, CNBC Indonesia- WHO resmi menetapkan corona sebagai pandemi, 126.380 jiwa di dunia terdeteksi positif terkena virus mematikan ini. Namun, bukan berarti tak bisa disembuhkan.

Salah satu pasien yang divonis terkena corona dan menjalani perawatan, akhirnya berani buka suara dan menceritakan pengalamannya sejak disebut mengidap corona hingga akhirnya sembuh total.

Adalah Elizabeth Schneider, warga Amerika Serikat yang tinggal di Seattle. Salah satu lokasi di Washington yang mencatat rekor kematian terbanyak di Amerika Serikat akibat virus corona.

Penyandang gelar PhD berusia 37 tahun ini buka-bukaan soal pengalamannya menjadi pasien corona karena ingin berbagi harapan ke penduduk dunia, bahwa corona tidak sehoror yang dibayangkan selama ini. Meskipun ia hanya mengidap gejala ringan dan menyembuhkan dirinya sendiri di rumah.

"Tapi bukan berarti juga ini hal yang bisa diremehkan, karena masih banyak orang termasuk orang tua yang kondisi kesehatannya cukup serius akibat ini," tulisnya sebagaimana dikutip dari AFP.

Ia bercerita gejala awal ia rasakan pada 25 Februari lalu, sepulangnya dari sebuah pesta yang belakangan diketahui terdapat 5 orang terinfeksi di dalamnya.

"Saya bangun dan merasa lelah, tapi bukan capek seperti biasanya meskipun saya bekerja seperti biasa dan sangat sibuk di pekan sebelumnya." ujarnya kepada AFP dalam wawancara Rabu ini.

Begitu siang hari, ia merasa agak pusing disertai demam dan mulai merasakan pegal serta nyeri. Lalu, ia memutuskan izin dari kantor di mana ia bekerja sebagai marketing manajer untuk pulang ke rumah.

Elizabeth sempat tidur sebentar, sampai akhirnya ia terbangun dan merasakan demamnya semakin menjadi sampai 39,4 derajat celsius. "Saya lalu menggigil luar biasa, dan mulai khawatir."

Ia mengobati dirinya dengan obat-obat flu yang bisa ditemukan di rumahnya, dan berjaga-jaga dengan menelepon temannya sekiranya ia dalam kondisi darurat dan perlu dibawa ke rumah sakit. Untungnya, demam yang ia derita terus menurun di hari-hari berikutnya.

Saat menderita demam itu, ia mengaku cukup mengikuti pemberitaan terkait corona. Namun, ia merasa tidak mendapatkan gejala-gejala umum orang terjangkit corona. "Itu makanya saya pikir saya tidak kena corona."

Baru beberapa hari belakangan ia tahu lewat facebook, bahwa beberapa orang yang hadir di pesta waktu itu terkena gejala yang sama dan mulai curiga dengan apa yang terjadi.

Beberapa orang itu diketahui pergi ke dokter namun dinyatakan negatif terkena flu, namun tidak ditawarkan untuk tes corona karena tidak mengalami batuk atau sesak nafas.

Khawatir kalau ke dokter juga tak akan ditawarkan untuk tes, dia sukarela ikut program dan tes flu yang dinamakan Seattle Flu Study dan berharap mendapat jawaban. Lalu tim tersebut mengirimkan beberapa alat untuk uji tes, dan ia kirim balik untuk mendapat hasilnya beberapa hari kemudian.

"Sampai saya dapat panggilan telepon pada Sabtu kemarin dan mengatakan bahwa saya positif terkena corona Covid 19."

Saat mendengar itu, ia mengaku terkejut tapi juga lega sekaligus. Meskipun sang ibu menangis saat mendengar kabar tersebut.

"Mungkin saya tidak merasakan selega itu jika benar-benar parah, namun didorong rasa penasaran ilmiah saya, saya menilai ini pengalaman menarik di balik konfirmasi positifnya penyakit ini."

Saat ini, gejala-gejalanya sudah mereda dan ia sudah diberitahu lembaga kesehatan lokal setempat untuk teurs berada di rumah sampai 7 hari mendatang hingga semua gejalanya hilang.

Kini, sudah hampor seminggu ia sudah merasa lebih baik dan mulai keluar-keluar rumah untuk melakukan sesuatu. Namun tetap hindari kumpulan orang, dan bekerja dari rumah.

Ia berharap dengan berbagi ceritanya ini bisa menjadi contoh bagi yang tengah mengalami hal serupa dan bisa membuat mereka lebih merasa aman. "Jangan panik adalah kuncinya, jika merasa kena mungkin saja anda kena dan Anda perlu menguji itu."

Dibangun 20 Hari, Ini Fasilitas Rumah Sakit Khusus Corona di Batam

RS Khusus Corona di Batam Mulai Dibangun

Jakarta - Pemerintah sedang menyiapkan rumah sakit khusus untuk menangani virus corona. Rumah sakit ini akan dibangun di Pulau Galang, Batam.

Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Sumadilaga mengatakan nantinya akan ada dua area pada rumah sakit khusus Pulau Galang. Area pertama merupakan bangunan kamp bekas eks pengungsi Vietnam, di sana akan menjadi bangunan pendukung.

Nantinya, di bangunan pendukung akan ada hunian untuk dokter dan tenaga medis. Kemudian, di bangunan itu juga akan dibuatkan dapur, tempat laundry, hingga gudang.

"Nah ada dua area. Yang lama bangunan eks pengungsi Vietnam dengan kondisi yang ada akan menjadi bangunan pendukung. Misalnya untuk rumah dokter, rumah perawat, dan tenaga medis," jelas Danis di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (12/3/2020).

"Kemudian ada dapur, laundry, gudang, dan sebagainya," lanjutnya.

Kemudian ada area baru yang akan mulai dibangun, area tersebut akan menjadi tempat observasi dan karantina. Di sana akan dibuatkan bangsal-bangsal dengan jumlah 400 tempat tidur.

"Di sampingnya kita akan bangun semacam tempat observasi. Nanti dibentuk, ruang-ruangan sebanyak 400 bed," papar Danis.

Rumah sakit khusus corona ini sendiri mulai dibangun sejak Minggu 8 Maret yang lalu. Ditargetkan selesai pada 31 Maret 2020 mendatang.

Membandingkan Wabah SARS, MERS, dan Virus Corona

Jakarta, CNN Indonesia -- Virus corona (Covid-19) hingga Kamis (12/3) tercatat sudah menginfeksi 126.061 orang di 118 negara di dunia. Berdasarkan perhitungan situs pelaporan daring Worldometers, sekitar 67.064 orang dinyatakan sembuh dan 4.616 meninggal dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan status virus corona sebagai pandemi karena penyebarannya secara universal. Di samping itu, ada tiga kriteria umum yakni virus dapat menyebabkan kematian atau penyakit, penularan virus orang-ke-orang yang berkelanjutan, dan bukti penyebaran ke seluruh dunia.

Penyebaran virus corona sejauh ini kerap dikaitkan dengan virus serupa yakni SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Dibandingkan Covid-19, tingkat kematian akibat SARS yang penyebarannya masuk dalam kategori epidemi justru lebih tinggi yakni mencapai 9,6 persen. Namun jumlah pasien meninggal akibat SARS jauh lebih rendah dibanding Covid-19.

Selain SARS, Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) juga masuk dalam kategori penyakit epidemi lantaran penyakit menyebar secara aktif. Jika sumber penyebaran SARS dan Covid-19 dari negara Asia, MERS justru berasal dari Timur Tengah.

SARS

SARS pertama kali teridentifikasi pada November 2002 di Provinsi Guandong, China selatan. Dalam hitungan beberapa bulan, SARS menyebar ke 37 negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia. Termasuk diantaranya Jepang, Singapura, Kanada, Vietnam, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Thailand, Swiss, Italia, Australia, dan Brasil.

Penyebaran SARS masuk dalam kategori epidemi sejak merebak ke sejumlah negara di dunia pada Juli 2003.

Secara umum, orang yang didiagnosa mengidap SARS merasakan demam tinggi lebih dari 38 derajat Celcius. Selain itu, pasien akan merasakan gejala lain seperti sakit kepala, gangguan pernapasan, dan sekujur tubuh terasa sakit.

Sekitar 10 hingga 20 persen pasien yang divonis SARS juga mengalami diare. Setelah dinyatakan positif dalam tempo dua hingga tujuh hari, pasien SARS akan mengalami batuk kering dan pneumonia.

Virus SARS diduga berasal dari kotoran kelelawar yang kemudian terkena kontak dengan manusia. SARS disebut paling mudah menular melalui cairan batuk atau bersin dari orang yang terinfeksi dalam jarak dekat. Virus ini disebut juga bisa mengkontaminasi permukaan atau benda sehingga orang yang menyentuhnya kemungkinan besar akan tertular.

WHO melaporkan jumlah kasus positif SARS di seluruh dunia mencapai 8.437 orang dengan 813 dinyatakan meninggal. Dalam waktu delapan bulan sejak kasus pertama kali dilaporkan, tercatat ada 8.096 orang dinyatakan positif mengidap SARS.

Tingkat kematian SARS terhitung rendah yakni sekitar 9,63 persen. Korban meninggal terbanyak tercatat di China dan Hong Kong.

Mengutip laporan NBC News, butuh waktu sekitar delapan bulan bagi virus SARS menyebar ke pasien lain. Sementara untuk tingkat kematian dibutuhkan waktu setidaknya 8,5 bulan.

Jika dikategorikan berdasarkan usia kematian, SARS menjadi penyakit mematikan bagi lansia yang berumur di atas 70 tahun. Sementara usia kematian 60-an tahun masuk dalam kategori kedua terbesar akibat SARS.

Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat, sejak 2004 tidak ada lagi laporan infeksi SARS.

MERS

MERS atau dikenal dengan sindrom pernapasan Timur Tengah penyebarannya pertama kali dilaporkan di Arab Saudi pada 2012. Seperti halnya SARS, MERS juga merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona.

Sejak pasien pertama dinyatakan positif, MERS telah menyebar ke 27 negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Utara.

Seperti kebanyakan virus corona, MERS merupakan virus zoonis yang ditularkan antara hewan dan manusia. Ilmuwan meyakini MERS kemungkinan besar berpindah dari kelelawar ke unta dromedaris sebelum menularkan manusia.

Tercatat ada 2.494 kasus MERS yang dilaporkan di seluruh dunia dengan 858 kematian. WHO mengatakan infeksi MERS terjadi terutama dari kontan jarak dekat antara orang-ke-orang.

Kendati angka penyebaran dan korban meninggal lebih kecil, namun tingkat kematian akibat MERS sangat tinggi yakni mencapai 34,45 persen.

Mengutip NBC News, butuh waktu satu tahun sejak kasus MERS pertama kali diungkap hingga bisa menginfeksi sekitar 203 orang. Sementara angka kematian MERS dalam waktu setahun mencapai 106 orang.

Jika klasifikasikan berdasarkan usia, angka kematian akibat MERS relatif beragam. Namun, risiko kematian tertinggi yakni 52,7 persen berisiko tinggi berada di rentang di atas 80 tahun atas.

Perbandingan Penyebaran SARS, MERS, dan Virus Corona
Foto: CNN Indonesia/Fajrian

 

Virus Corona (Covid-19)

Struktur virus corona baru (Covid-19) yang disebut serupa dengan SARS, namun cenderung tidak terlalu mematikan. Sekitar 10 persen orang yang terinfeksi kemungkinan akan mengalami kematian.

Jika SARS butuh waktu enam bulan untuk dinyatakan sebagai epidemi, penyebaran Covid-19 justru lebih cepat yakni dalam hitungan satu hingga dua bulan.

Corona pertama kali dilaporkan dari pasar hewan di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir 2019 lalu. Kelelawar dan trenggiling diduga sebagai sumber penyebaran virus corona. Dibandingkan dua pendahulunya, penyebaran Covid-19 justru jauh lebih cepat.

Ahli epidemologi dari Gillings School of Global Public Health, University of North Carolina, Timothy Sheahan mengatakan struktur virus corona mirip dengan SARS yakni dua virus berbagi sekitar 80 persen genom.

Berdasarkan analisis genetika, virus corona juga belum mengalami banyak perubahan signifikan sejak pertama kali terungkap di Wuhan, China. Saat virus menular dari orang-ke-orang dan menyebar ke lokasi geografis baru, tidak jarang mereka bermutasi untuk menghindari kematian.

“Ini (corona) pada dasarnya adalah evolusi Darwin, tempat ia bertahan dari yang terkuat. Tetapi jika Anda sudah terinfeksi corona dengan penularan dari manusia ke manusia, maka kondisi Anda justru akan semakin drop,” ujar Sheahan seperti mengutip CBN News.

Jika rata-rata 35 persen pasien yang mengidap MERS dinyatakan meninggal dunia, maka Covid-19 justru jauh lebih sedikit. Tingkat kematian akibat virus corona merupakan yang terendah dibandingkan dua pendahulunya, yakni mencapai 2,07 persen. Namun jumlah korban meninggal akibat virus corona Covid-19 sejauh ini menjadi yang tertinggi yakni 4.616 orang

Hanya saja, virus ini justru lebih mudah menular. Dalam tempo sebulan, penyebaran virus corona mencapai 26 negara dunia di luar China. Memasuki bulan kedua penyebarannya, virus corona telah menginfeksi sekitar 126.061 orang di lebih dari 100 negara di dunia. Pasien berusia di atas 80 tahun memiliki risiko kematian 21,9 persen lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lain.

Ilmuwan sejauh ini belum bisa mengukur tingkat fatalitas virus lantaran jumlah pasien masih bertambah. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus pada awal Maret lalu mengatakan 3,4 persen dari kasus yang dilaporkan meninggal, namun jumlahnya kemungkinan berubah lantaran wabah masih berkembang.

Merebaknya wabah virus corona berimbas pada banyak sektor kehidupan. Angka kunjungan pariwisata menurun drastis lantaran sejumlah negara menutup akses masuk di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap corona. Sejumlah negara yang menerapkan aturan tersebut yakni Denmark, Italia, Mongolia, Korea Utara, dan Iran.

IDI Ingatkan Dampak Ngeri Corona Justru di Luar Kesehatan

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Daeng M Faqih buka-bukaan mengenai virus corona (Covid-19). Menurutnya, dampak terbesar virus ini bukan pada aspek kesehatan, tetapi lebih banyak memukul bidang di luar kesehatan.

"Dari awal saya mengingatkan, nanti ini dampak paling kuat justru bukan di kesehatan, tapi dampak sosial, politik dan ekonomi, karena viral di berbagai media," ujarnya di sela menghadiri acara bersama Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Jakarta, Kamis (12/3/20).

Adapun pada dampak terhadap kesehatan, dia menyebut, tingkat kematian pengidap virus corona tergolong rendah. Daeng lantas mengutip data WHO, bahwa hanya 2-3% saja pasien yang meninggal.

Selain itu, pasien yang dinyatakan meninggal kebanyakan bukan disebabkan semata-mata karena terjangkit virus corona. Melainkan karena adanya penyakit penyerta.

"Dia mungkin sudah punya penyakit berat seperti gagal ginjal, diabetes, terinfreksi, dan semakin berat, dan mati. Sudah angka kematian kecil, kematian bukan karena murni virusnya, karena yang terinfeksi mengidap penyakit penyerta. Beda dengan komplikasi yang terus merembet. ini penyakit penyerta. Yang tidak punya penyakit penyerta dan imunitas bagus, tingkat kesembuhannya tinggi," jelasnya.

Selain itu, kebanyakan yang terinfeksi virus corona adalah orang-orang lanjut usia. Sebab, hal ini juga berkaitan dengan daya tahan tubuh. Dengan sederet fakta tersebut maka masyarakat harus waspada, tapi jangan sampai panik.

"Masyarakat harus tahu penyebarannya. Meski cepat, tidak seperti TBC yang begitu batuk, bersin, nyemprot, kumannya melayang. Kalau terhirup kena. Corona tidak seperti itu. WHO belum confirm dengan istilah air ball, melayang. Kalau melayang di udara, tingkat penyebarannya luar biasa," tandasnya. 

Di sisi lain, virus ini juga tidak akan bertahan lama jika tidak masuk ke saluran pernapasan. Virus ini juga gampang rusak jika diantisipasi dengan baik.

"Kalau kita membersihkan apa-apa dengan sabun, virus ini gampang rusak. jadi menjaga kebersihan itu sangat penting agar virus tidak melekat pada diri kita," imbuhnya.

Ini Alasan Indonesia Tak 'Lockdown' Wilayah Ditemukan Corona

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menilai bahwa opsi me- lockdown wilayah yang ditemukan kasus positif virus corona ( Covid-19) justru akan meningkatkan peluang penyebaran virus di wilayah itu sendiri.

Hal ini diungkapkan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/3/2020).

"Kalau di-lockdown, malah kita tidak bisa berbuat apa-apa. Konsekuensinya, kasus (Covid-19) di wilayah itu bisa jadi naik dengan cepat," ujar Yuri.

Yuri mencontohkan lockdown pada kapal pesiar Diamond Princess. Kapal itu merupakan salah satu lokasi awal penemuan virus corona dalam jumlah besar di luar China.

Rupanya, cara lockdown dinilai kurang ampuh dalam mencegah penularan virus corona di antara manusia di dalam kapal.

"Begitu di-lockdown (karantina di dalam kapal), (jumlah positif Covid-19) naik angkanya. Ya karena orang tidak ke mana-mana, di situ," lanjut Yuri.

Sejumlah negara, kata Yuri, memang menerapkan penguncian pada wilayahnya yang ditemukan kasus positif virus corona.

Denmark dan Amerika Serikat adalah salah satunya.

Yuri pun memastikan, Indonesia tidak akan memilih opsi lockdown wilayah yang ditemukan kasus Covid-19.

" Lockdown itu supaya tidak ada pergerakan orang sakit keluar atau orang sakit masuk ke dalam. Kita tidak akan memakai opsi lockdown," lanjut dia.

Adapun, penyebaran virus corona di Indonesia diketahui setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua pasien Covid-19 di Tanah Air pada 2 Mei 2020.

Saat itu, Jokowi menyebutkan bahwa Kasus 1 tertular virus corona dari warga negara Jepang yang berkunjung ke Jakarta.

Kontak dekat, menurut Jokowi, terjadi pada 14 Februari 2020 dalam sebuah acara di sebuah restoran di Jakarta Selatan.

Hingga saat ini terdapat 34 kasus pasien positif virus corona di Indonesia.

Tiga dari 34 pasien tersebut dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Sementara, satu orang dinyatakan meninggal dunia yakni pasien 25.

Selain itu, ada dua pasien yang masih harus menunggu hasil uji laboratorium kedua.

Pasien itu, yakni pasien 03 dan pasien 10. Jika hasil tes kedua dinyatakan negatif, maka kedua pasien diperbolehkan pulang.