logo2

ugm-logo

BNPB: 1.525 Bencana Terjadi di Indonesia Selama 2014

Jakarta - Sepanjang 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada sekitar 1.525 kejadian bencana di Indonesia. Meski hanya 1 persen tergolong bencana geologi, namun masyarakat diminta tetap waspada.

"Bencana geologi, khususnya gempa dan tsunami bersifat mendadak. Bisa kapan saja terjadi di daerah rawan," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dalam keterangannya, Kamis 1 Januari 2015.

Menurut Sutopo dari data yang dimiliki BNPB, ada sekitar 386 kabupaten/kota yang berpotensi terkena bahaya gempa di Indonesia. Angka wilayah sebesar itu memiliki total jumlah penduduk sebanyak 157 juta jiwa.

Sedangkan untuk wilayah potensi tsunami, lanjut dia, ada sekitar 233 kabupaten/kota dengan penduduk 5 juta jiwa. Mereka berpotensi terpapar sedang-tinggi dari bahaya tsunami.

"Meskipun tsunami kecil, namun ancaman ini juga menjadi pelajaran bagi kita bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan Pemda dalam menghadapi tsunami masih rendah," jelas Sutopo.

Dipaparkan Sutopo, dari total ribuan kejadian bencana ini, 99 persen adalah bencana hirometeorologi seperti puting beliung, banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta kekeringan.

Erupsi gunung api tercatat ada 5 kejadian yaitu di Gunung Sinabung yang terjadi sejak 13 September 2013 hingga sekarang. Ada juga erupsi Gunung Kelud yang muncul pada 13 Februari 2014, Gunung Sangeangapi yang terjadi pada 30 Mei 2014, Gunung Slamet di 13 September 2014, dan Gunung Gamalama di 18 Desember 2014.

Dari semua bencana gunung berapi itu, papar Sutopo, total 24 orang tewas, 128.167 jiwa mengungsi, dan 17.833 rumah rusak. Bahkan, erupsi Gunung Sinabung saat ini masih menyebabkan 2.443 jiwa (795 KK) mengungsi di 7 titik. Sebanyak 1.212 jiwa (370 KK) harus direlokasi dalam waktu dekat ini.

Erupsi Gunung Kelud dianggap BNPB sebagai yang fenomenal. Kala itu, material dilontarkan ke angkasa hingga 17 kilometer menyebabkan 7 tewas, sekitar 90 ribu orang mengungsi, dan 17 ribu lebih rumah rusak.

"Mengingat masyarakat sekitar Gunung Kelud sudah tangguh menghadapi bencana, dan memaknai erupsi sebagai warisan masa depan, maka pemulihan berjalan dengan cepat," kata Sutopo.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, gempa yang merusak ada sekitar 11 kejadian. Ini menyebabkan 248 orang mengungsi dan 662 rumah rusak. Gempa bumi terjadi antara lain di Jateng pada 25 Januari 2014 dengan wilayah berdampak di Banyumas, Cilacap, Kebumen dan Purworejo.

"Sedangkan kejadian tsunami ada dua, yaitu tsunami dari gempa di Chile pada 2 April 2014 dan gempa 7,3 SR di Halmahera Utara pada 15 November lalu," kata Sutopo.

sumber: VIVAnews

Bencana dan Kearifan Lokal

SEPULUH tahun yang lalu bencana mahadahsyat yaitu tsunami telah menghancurkan Aceh. Tsunami yang terjadi pada 2004 membuat semua orang tercengang dan tidak menyangka begitu besar dampak yang ditimbulkannya. Sesaat sebelum tsunami masyarakat Aceh tidak pernah mengetahui bahwa setelah gempa besar akan disusul oleh gelombang besar yang akan menuju pantai. Sehingga banyak yang pergi ke pantai untuk melihat surutnya air laut dan memilih ikan yang mati bergelimpangan.

Masyarakat Aceh tidak mengetahui bahwa mereka sedang dihadapkan oleh bencana besar, karena kejadian seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya dan masyarakat tidak pernah mengenal fenomena seperti ini. Ketidaktahuan masyarakat tentang bencana tsunami telah memakan banyak korban jiwa. Sekitar 200.000 orang meninggal dunia dan 37.000 hilang pada saat tsunami 2004. Seharusnya korban sebanyak ini tidak akan terjadi jika masyarakat Aceh mengetahui tentang tsunami.

Aceh sebelum tsunami memang sangat tertutup dari negara luar akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia. Konflik tersebut membuat Aceh menjadi daerah yang terisolir dan informasi pun sangat sulit untuk didapatkan. Padahal di belahan bumi lain yaitu Jepang sudah pernah mengalami tsunami bahkan berkali-kali sebelum kejadian tsunami 2004, namun masyarakat Aceh tidak pernah mengetahui kejadian tersebut.

Saat kejadian tsunami 2004, masyarakat tidak menyangka bahwa air laut bisa menghancurkan hampir sebagian daratan Aceh. Kebingungan, panik, stres bahkan ada yang depresi saat meangalami langsung kejadian maha dahsyat tersebut. Bahkan karena ketidaktahuan mereka tentang bencana, ada yang kembali lagi ke rumah mereka untuk menyelamatkan harta bendanya dan akhirnya mereka ditenggelamkan oleh gelombang tsunami yang kedua.

Sungguh disayangkan ketidaktahuan tentang bencana telah meneggelamkan banyak jiwa. Beda halnya dengan masyarakat Simeulue yang sebelumnya telah mengetahui tsunami dengan istilah smong, dari cerita yang disampaikan secara turun temurun. Sehingga saat kejadian tsunami 2004, seusai gempa besar mereka berlarian menuju tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri dari smong. Dampak bencana pun dapat dihindari, dari total populasi kurang lebih 78.000 orang di pulau Simeulue hanya mengakibatkan 7 orang korban meninggal. Padahal sekitar 95% penduduknya menempati daerah pesisir yang dekat dengan pusat gempa.

 Pengetahuan bencana
Pengetahuan tentang bencana sangat penting untuk diajarkan kepada masyarakat. Apalagi Aceh merupakan daerah yang sangat rawan terhadap bencana. Bukan saja gempa dan stunami, tapi bencana lain seperti banjir, longsor, angin topan juga sering terjadi. Seperti akhir-akhir ini banjir telah menggenangi beberapa wilayah yang ada di Aceh. Pengetahuan bencana berguna untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan membuat masyarakat tanggap terhadap bencana dengan mengenali tanda dan gejala bencana.

Tanda dan gejala itu dapat berupa keadaan alam sekitarnya maupun dilihat dari tingkah laku binatang. Misalnya masyarakat yang tinggal di daerah pantai hendaknya mengetahui tanda-tanda yang muncul sebelum terjadinya tsunami. Surutnya permukaan air laut dan banyaknya ikan yang mati setelah terjadinya gempa besar, pertanda bahwa kemungkinan terjadinya tsunami. Masyarakat diharuskan untuk segera menjauh dari pantai, karena biasanya tsunami akan datang setelah 15-20 menit. Begitu juga dengan kejadian banjir bandang, jika terlihat keganjilan seperti terjadinya hujan lebat namun air sungai tidak meluap tapi malah surut, ini pertanda akan terjadi banjir besar. Karena hujan lebat yang terjadi di hulu sungai mengakibatkaan longsor pada pegunungan yang miring, sehingga membendung aliran sungai. Saat bendungan tersebut tidak mampu menahan debit air, maka tanggulpun jebol yang mengakibatkan terjadinya banjir besar secara tiba-tiba.

Pengetahuan bencana seperti yang dijelaskan diatas sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Mereka mengenal tanda dan gejala bencana dari melihat keadaan alam sekitar, namun sayangnya sekarang sering tidak dipercayai dan bahkan dianggap mitos belaka. Padahal apa yang telah dilakukan dahulu dapat mengurangi dampak bencana. Hal ini terbukti dari penggunaan kata smong pada masyarakat Simeulu yang telah menyelamatkan mereka dari bencana besar tsunami 2004. Kata smong tersebut telah menjadi kearifan lokal yang dijaga secara turun temurun oleh masayarakat Simeulu.

 Kearifan lokal
Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan yang berujud aktivitas, untuk menjawab permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat (Hermana, 2006). Kata smong menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat semeulue dalam mengenal tanda dan gejala tsunami.

Dengan menyebut kata smong, mereka sudah mengerti bahwa akan terjadi banjir besar yang datang dari laut dan merekapun segera menuju pegunungan dengan membawa bekal yang cukup. Sehingga dampak bencana dari kejadian itu tidak terlalu berimbas kepada masyarakat.

Konsep kearifan lokal masyarakat Pulau Simeulue, berasal dari pengamatan mereka terhadap gejala yang terjadi di alam. Ini merupakan salah satu jenis dari keraifan lokal yang terdapat di Pualau Simeulue. Kearifan lokal ini, hendaknya harus tetap dijaga dan terus dikenalkan kepada generasi berikutnya, sehingga saat terjadi bencana di masa depan, merekapun siap menghadapinya.

Beberapa barang bukti dari kejadian tsunami Aceh pada 2004 lalu, seperti Museum Tsunami, Kapal PLTD Apung, Tugu Tsunami dan Kuburan Massal, menjadi sebuah kearifan lokal bagi anak cucu kita di masa depan. Jangan sampai peninggalan tersebut hanya sekadar menjadi barang tontonan saja, tapi juga bisa menjelaskan kejadian yang pernah terjadi dibalik peninggalan tersebut. Usaha menjaga kearifan lokal dan mengenalkan barang peninggalan tsunami ini dapat diupayakan untuk menambah pengetahuan tentang bencana sehingga generasi ke depan bisa hidup damai dengan bencana.