logo2

ugm-logo

Masuk Peralihan Musim, Masyarakat Diimbau Waspada Bencana

Masuk Peralihan Musim, Masyarakat Diimbau Waspada Bencana

Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengimbau masyarakat mulai melakukan persiapan menghadapi peralihan musim kemarau ke musim penghujan. Ia meminta agar masyarakat bisa mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana hidrometeorologi saat musim penghujan.

Beberapa di antaranya, kata Agus, ialah dengan memangkas daun dan ranting di pohon yang besar. Kemudian tidak membuang sampah sembarangan serta menjaga kebersihan lingkungan, saluran air dan sungai.

"Membawa payung atau jas hujan selama berkegiatan di luar ruang, dan memperbarui informasi prakiraan cuaca dari sumber berwenang," kata Agus dalam keterangan tertulis, Senin (21/10).

Untuk jangka panjang, pencegahan bencana hidrometeorologi di musim penghujan bisa dilakukan dengan menanam pohon yang dapat mencegah longsor. Menanam pohon disebut Agus sekaligus bisa mengikat air tanah sebagai cadangan saat kemarau panjang tiba.

Beberapa jenis pohon yang dapat ditanam antara lain beringin, karet, matoa, jabon putih, sukun, mahoni, dan sebagainya. Selain itu, Agus menjelaskan musim penghujan bisa memicu bencana hidrometeorologi seperti tanah longsor dan banjir.

"Dengan ditambah beberapa faktor seperti lingkungan yang tidak terawat dengan baik, alih fungsi hutan pegunungan, dan kebiasaan membuang sampah sembarangan," kata dia.

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim penghujan 2019 akan dimulai pada akhir Oktober hingga pertengahan November. Masa peralihan musim kemarau menuju musim penghujan atau masa pancaroba ditandai dengan beberapa gejala alam.

Beberapa di antaranya adalah perubahan suhu dan cuaca secara drastis, munculnya mendung tebal disertai petir, gelombang pasang air laut, angin kencang, hingga angin puting beliung.

Diketahui, musim penghujan pada 2019 cenderung terlambat karena pengaruh fenomena el nino yang panjang. Kondisi ini sekaligus berdampak pada bencana kekeringan panjang di beberapa wilayah Indonesia.

Antisipasi Aktivitas Merapi, BPBD DIY Siapkan 50 Ribu Masker

Suasana puncak Gunung Merapi di kawasan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (13/6/2019). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho.

tirto.id - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY menyiapkan 50.000 masker dan sejumlah logistik untuk mengantisipasi meningkatnya aktivitas Gunung Merapi.

Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantana mengatakan saat terjadi awan panas letusan Merapi, pada Senin (14/10/2019) memang tidak mengakibatkan hujan abu signifikan di wilayah DIY jika di bandingkan wilayah Jawa Tengah seperti Magelang.

Namun kata Biwara, pihaknya telah mempersiapkan masker dan logistik untuk mengantisipasi adanya peningkatan aktivitas Merapi jika sewaktu-waktu terjadi hujan abu.

"Masker siap di BPBD DIY ada, di BPBD Sleman ada, di Puskesmas ada. Update terakhir saya belum dapat laporan tapi kalau 50 ribu [masker] saja di BPBD DIY ada," ujar Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantana saat dihubungi, Selasa (15/10/2019).

Selain itu, 11 barak juga dalam kondisi siap digunakan. Hanya ada satu barak yang rusak di Donokerto, Turi, Sleman setelah temboknya roboh terkena angin kencang beberapa waktu lalu.

Perbaikan barak akan dilakukan tahun depan sesuai anggaran 2020. Sekaligus perbaikan juga akan dilakukan di salah satu barak yang lain yakni meliputi pergudangan dan dapur.

"Kebutuhan-kebutuhan [lain] siap, tikar, selimut logistik. Dan masyarakat sudah terkondisikan kemana evaluasi jalur ke mana," ujar dia.

Di sisi lain, kata dia, masyarakat di lereng Merapi juga telah dipersiapkan sejak dini jika sewaktu-waktu aktivitas Merapi meningkat. Sebab, seluruh desa yang ada di lereng Merapi, kata dia, telah menjadi Desa Tanggung Bencana (Destana).

Selain itu, menurutnya, masyarakat di lereng Merapi sudah bergumul lama dengan aktivitas Merapi sehingga paham setiap aktivitas Merapi. Pun demikian pos-pos pengamatan Merapi juga aktif memberikan informasi ke masyarakat.

Sebelumnya, Gunung Merapi mengeluarkan awan panas letusan dengan tinggi kolom mencapai kurang lebih 3.000 meter, Senin (14/10/2019).

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menjelaskan penyebab awan panas letusan dikarenakan adanya akumulasi gas.

Kepala BPPTKG Hanik Humaida menjelaskan karakter letusan yang terjadi pada Senin sore sama persis dengan letusan pada 22 September 2019. Namun, yang terakhir lebih besar karena tinggi kolom letusan mencapai 3.000 meter sedangkan sebelumnya hanya 800 meter.

"Penyebabnya akumulasi gas karena saat ini Merapi masih proses terus ya masih hidup. Merapi ini masih hidup jadi proses terus terjadi akumulasi gas bisa terjadi dan sewaktu-waktu bisa meletus seperti itu," kata Hanik di Kantor BPPTKG, Senin (14/10/2019).

More Articles ...