logo2

ugm-logo

BPBD Kota Sorong Lakukan Simulasi Tanggap Bencana Alam

<p">Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sorong menggelar simulasi tanggap bencana alam, di halaman Kantor Wali Kota Sorong, Rabu (20/11). Simulasi bencana alam yang melibatkan pegawai dari tingkat kelurahan, distrik, SAR, BPS, BUMN, BUMD dan beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dilakukan mengingat akhir-akhir ini di beberapa daerah di Indonesia sering terjadi bencana khususnya gempa.

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Sorong Taraice Karet mengatakan simulasi ini dilakukan agar semua instansi terkait dapat langsung tanggap jika terjadi bencana alam di Kota Sorong, misalnya gempa bumi.

"Kami mengundang pegawai distrik, lurah, OPD terkait, BUMN dan BUMD untuk mengikuti simulasi tanggap bencana yaitu seperti pemasangan tenda, penyaringan air bersih dan penggunaan alat komunikasi," ungkapnya kepada Balleo News disela-sela kegiatan.

Menurutnya, pihaknya dalam waktu dekat akan menyiapkan sebuah tim yang tugasnya ketika ada bencana, mereka bisa langsung turun ke lapangan dan tahu apa yang harus mereka lakukan ketika terjadi bencana.

Dalam simulasi tersebut, kata Taraice, pihaknya juga mensimulasikan cara pengoperasian alat penyaringan air bersih. Dimana alat tersebut merupakan bantuan dari BNPB RI kepada BPBD Kota Sorong. "Dalam simulasi ini, kami mencontohkan cara penggunaan alat penyaringan air bersih. Karena ketika terjadi gempa, kualitas air juga otomatis akan berdampak, sehingga dengan adanya alat tersebut maka walaupun air kotor dapat diolah menjadi air bersih yang dapat langsung dikonsumsi atau diminum," ujarnya.

Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Sorong berharap dengana danya simulasi, semua pihak terkait tahu tugasnya masing-masing dan apa yang harus mereka lakukan jika terjadi bencana.

Kepala BNPB: Gempa dan Tsunami Bencana yang Berulang

JAKARTA, KOMPAS.com - Bencana yang datang silih berganti di sejumlah wilayah Tanah Air sepanjang tahun ini, menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan dalam menghadapinya.

Sejumlah bencana, seperti gempa bumi dan tsunami, termasuk jenis bencana yang tak bisa diprediksi kedatangannya. Namun, dua bencana ini termasuk jenis bencana yang sifatnya memiliki periode pengulangan tertentu.

Sebagai contoh, gempa bumi bermagnitudo 7,1 yang terjadi di sebelah barat laut Jailolo, Maluku Utara pada 14 November lalu.

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada saat itu bahkan sempat menyatakan gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.

"Ternyata gempa yang sama juga pernah terjadi lima tahun lalu di tempat yang relatif tidak terlalu jauh," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Doni Monardo saat bertandang ke Menara Kompas, Jakarta, Senin (18/11/2019) sore.

Memang, gempa ini tidak menimbulkan korban jiwa secara langsung. Hanya, ia mendapat laporan bahwa ada seseorang yang meninggal dunia akibat serangan jantung pascagempa.

Sementara itu, kerusakan bangunan yang terjadi dinilai juga tidak terlalu parah.

"Tapi masyarakat di pulau-pulau kecil mengalami trauma karena guncangan yang dirasakan kuat, dan frekuensinya cukup tinggi. Hingga tadi pagi (kemarin) tercatat terjadi 87 kali (gempa susulan)," kata dia.

Sejauh ini, ia menambahkan, sudah ada beberapa duta besar negara sahabat yang menemuinya menawarkan bantuan berupa teknologi pendeteksi bencana.

Namun, hingga kini belum ada satu pun teknologi di dunia yang bisa memprediksi kapan gempa dan tsunami akan terjadi.

Lebih jauh, ia mengatakan, meski kedua bencana itu termasuk ke dalam jenis bencana yang berulang, masyarakat juga tak perlu memiliki kekhawatiran berlebihan.

Ada sejumlah langkah dan upaya yang bisa dilakukan untuk 'menghadapi' bencana tersebut. Misalnya, dengan meningkatkan vegetasi di sepanjang garis pantai.

"Vegetasi di sepanjang pantai itu sudah mulai kelihatan hasilnya. Kombinasi pohon bakau dan cemara udang, tak hanya membantu mengurangi abrasi tetapi juga dampak tsunami," ujarnya.

Tsunami yang disebut Doni sebagai mesin pembunuh nomor dua terkuat setelah bom atom, memiliki kecepatan hingga 700 kilometer per jam.

Keberadaan vegetasi tak hanya memungkinkan untuk mengurangi kecepatan air, tetapi juga dapat menjadi shelter perlindungan bagi manusia.

Vegetasi, imbuh Doni, juga diklaim lebih murah bila dibandingkan dengan harus membangun konstruksi pemecah ombak atau shelter perlindungan tertentu di pantai.

"Karena tidak ada satu pun benteng buatan manusia yang bisa menghadapi tsunami. Giant sea wall di Jepang itu, ketika selesai dibangun dan terjadi tsunami, bahkan korbannya melebihi prediksi sebelumnya," ucapnya.

More Articles ...