logo2

ugm-logo

BPBD NTT imbau masyarakat pantau informasi terkini bencana alam

Kupang, NTT (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengimbau masyarakat untuk selalu memantau informasi terkini terkait bencana alam yang terjadi di wilayah provinsi berbasis kepulauan tersebut.

“Kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk aktif memantau informasi terkini sangatlah penting guna mengantisipasi potensi bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di musim hujan,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD NTT Gasper Losa Manisa di Kupang, Selasa.

Hal ini ia sampaikan sejalan dengan publikasi Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD NTT yang mencatat adanya 60 kejadian bencana alam di NTT pada Januari-Februari 2025, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem.

Ia menyebutkan informasi tersebut senantiasa diperbarui oleh Pusdalops setiap tiga bulan, sehingga penting untuk diikuti dan diketahui oleh masyarakat luas.

Menurut dia, dengan adanya kesadaran dan inisiatif dalam mengikuti informasi terkini bisa menambah kewaspadaan dan menghindari timbulnya kepanikan di tengah masyarakat.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya literasi pada masyarakat dalam memahami informasi dan menghindari hoaks tentang bencana alam.

“Kecakapan literasi penting agar masyarakat mampu memverifikasi suatu informasi bencana. Karena pernah terjadi, adanya penyebaran informasi bencana yang sebenarnya sudah pernah terjadi dua tahun lalu tetapi diviralkan kembali sehingga menjadi hoaks,” katanya.

Ia mengajak masyarakat untuk selalu mengikuti berita resmi dari BPBD, BMKG, maupun instansi terkait lainnya.

Secara khusus informasi dan publikasi terkini BPBD NTT dapat diakses melalui akun Instagram resmi @pusdalopsprovntt.

Mengintip Cara Jepang Atasi Banjir Menahun di Tokyo dengan Bangun "Katedral Bawah Tanah"

KOMPAS.com - Dalam beberapa dekade terakhir, ibu kota Jepang, Tokyo dilanda banjir ketika hujan dan angin topan melanda wilayah tersebut.

Untuk mengatasi luapan air dari sungai-sungai di Tokyo, Pemerintah Jepang membangun Katedral bawah tanah yang tersembunyi di bawah tanah dan menjadi bagian dari Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan (MAOUDC).

Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan di Tokyo adalah sistem terowongan sepanjang 6,3 km dan ruang silinder menjulang.

Terowongan panjang itu berlokasi di Kasukabe-shi, Prefektur Saitama, Jepang dan ditopang oleh puluhan pilar seberat 500 ton yang menyangga langit-langit.

Dikutip dari BBC, sistem penanganan banjir ini mulai terbentuk pada tahun-tahun pascaperang. Saat itu, Topan Kathleen melanda Jepang pada 1947 dan menghancurkan sekitar 31.000 rumah serta menewaskan 1.100 orang.

Satu dekade kemudian, Topan Kanogawa menghancurkan kota tersebut setelah curah hujan turun sekitar 400 mm dalam seminggu.

Ahli bencana di Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) Miki Inaoka mengatakan, kekacauan peristiwa tersebut membuat pemerintah Jepang meningkatkan komitmennya untuk mencegah potensi banjir.

“Bahkan pada tahun 1950-an dan 1960-an, ketika Jepang sedang memulihkan diri dari perang, pemerintah menginvestasikan 6-7 persen dari anggaran nasional untuk bencana dan pengurangan risiko,” kata dia.

Setelah puluhan tahun merencanakan skenario ini dan pembangunan dilakukan tanpa henti, Jepang kini memiliki puluhan bendungan, waduk, tanggul, dan Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan (MAOUDC), serta katedral bawah tanah.

Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan yang menjadi salah satu prestasi teknik paling mengesankan dan baru selesai dibangun pada 2006 setelah 13 tahun pengerjaan.

Proyek besar itu menelan biaya sekitar 1,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 29,3 triliun.

Lantas, seperti apa sistem perencanaan Jepang mengatasi banjir di Tokyo itu?

Sistem Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan

Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan dibangun di bawah Rute 16 yang merupakan jalan lingkar di Wilayah Metropolitan Tokyo.

Dikutip dari Japan Travel, Saluran Pembuangan Bawah Tanah Wilayah Luar Metropolitan adalah salah satu saluran pembuangan bawah tanah terbesar di dunia.

Sistem ini memiliki cara kerja untuk menampung dan mengalirkan luapan air dari sungai kecil dan sedang di Tokyo.

Luapan air tersebut akan mengalir ke poros besar berdiameter sekitar 30 meter dan kedalaman 70 meter, cukup besar untuk menampung Patung Liberty.

Air kemudian melalui terowongan bawah tanah dengan diameter 10 meter dan panjang 6,3 kilometer untuk mencapai tangki pengatur tekanan besar yang dikenal sebagai "Katedral Bawah Tanah."

Dari sini, air dialirkan ke Sungai Edogawa yang mengalir ke Teluk Tokyo menggunakan empat pompa terbesar di Jepang.

Pompa yang digunakan adalah komponen pesawat yang dimodifikasi yang digerakkan oleh piston gas yang menghasilkan daya 14.000 tenaga kuda, masing-masing dapat memompa 50 meter kubik air per detik.

Pengelola Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan yaitu Kantor Sungai Edogawa milik Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata (MLIT) memperkirakan, saluran tersebut mampu mengurangi dampak ekonomi akibat kerusakan banjir yang mencapai 148,8 miliar yen atau sekitar Rp 16 triliun selama 18 tahun pertama pengoperasiannya.

Terletak di hulu kota metropolitan, saluran tersebut berfungsi sebagai salah satu pilar utama langkah-langkah pembangunan perkotaan tahan banjir yang melindungi Tokyo dari kerusakan akibat hujan lebat.

Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan diperluas

Sejak mulai beroperasi pada 2006, Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan telah melakukan tugasnya, yakni mencegah banjir di Tokyo.

Terbukti, sistem tersebut telah bekerja setidaknya sebanyak empat kali pada Juni 2024 dan beberapa tahun sebelumnya.

Selama Topan Shanshan, sistem Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan menampung cukup air untuk memenuhi stadion bisbol Tokyo Dome hampir empat kali, sebelum kmeudian memompanya dengan aman ke Sungai Edogawa dan ke laut.

Namun, belakangan, badai lokal membawa curah hujan hingga 100 mm sehingga membebani sistem secara berlebihan.

Alhasil, sistem tersebut tidak dapat menghentikan banjir yang terjadi akibat hujan topan lebat pada bulan Juni 2023.

Lebih dari 4.000 rumah di daerah aliran sungai terendam air akibat peristiwa tersebut.

Dikutip dari Reuters, kegagalan Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan dipicu oleh pemanasan global yang menyebabkan cuaca menjadi lebih buruk.

Manajer lokasi konstruksi untuk proyek tersebut, Shun Otomo mengatakan, Sistem Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan awalnya dibangun untuk menangani curah hujan hingga 75 mm per jam.

Oleh sebab itu, pemerintah berwenang kembali melakukan perbaikan besar-besaran terhadap sistem tersebut.

“Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ada kecenderungan hujan lebat turun sekaligus dalam apa yang kami sebut hujan gerilya,” kata pejabat Kementerian Pertanahan yang bertanggung jawab atas kompleks tersebut, Yoshio Miyazaki.

Pemerintah Jepang menggelontorkan dana senilai 37,3 miliar yen atau sekitar Rp 4,1 triliun selama 7 tahun untuk memperkuat tanggul dan drainase air di daerah tersebut.

Proyek besar lainnya yang lebih dekat ke pusat Kota Tokyo juga sedang digarap untuk menghubungkan saluran yang menampung luapan air dari sungai Shirako dan Kanda.

Setelah selesai pada 2027, proyek ini akan mengalirkan air banjir sekitar 13 km di bawah tanah ke Teluk Tokyo.

More Articles ...