logo2

ugm-logo

Perkuat Mitigasi Bencana dengan "Kentongan"

Jakarta, Beritasatu.com - Mitigasi bencana di tengah masyarakat perlu diperkuat. Apalagi Indonesia merupakan negara rawan bencana. Melalui Kentongan, sebuah program siaran baru di Radio Republik Indonesia (RRI), radio milik pemerintah ini ingin meningkatkan mitigasi dan budaya sadar bencana di masyarakat.

Peluncuran program mitigasi bencana ini dilakukan bersamaan dengan rangkaian peringatan hari ulang tahun RRI ke-74 pada 11 September 2019 mendatang. Program ini terinspirasi dari program serupa yang ada di Jepang. Negara itu diketahui juga punya potensi bencana tinggi tetapi kesiapsiagaan mitigasinya sudah optimal.

Direktur Utama RRI, M Rohanudin mengatakan, melalui siaran ini RRI ingin membangun budaya sadar bencana di masyarakat. Pengetahuan mitigasi dilakukan justru sebelum bencana terjadi sebagai upaya pencegahan.

Siaran ini pun akan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah melibatkan 105 stasiun RRI dan 223 stasiun relay di seluruh Indonesia serta 37 stasiun di perbatasan. Narasumbernya pun beragam yang mengupas terkait potensi bencana.

"Untuk mewujudkan masyarakat tangguh bencana siaran Kentongan ini menjadi daily program," katanya di sela-sela sarasehan program Kentongan di Auditorium RRI Jakarta, Sabtu (7/9). Menurutnya, dampak bencana dapat ditekan bila ada program mitigasi bencana.

Seiring perkembangan teknologi, siaran RRI juga menggunakan berbagai platform seperti digital. Langkah ini dianggap sangat relevan dengan perkembangan terkini dan bisa diterima masyarakat pengguna gawai.

Senada dengan itu, Dewan Pengawas RRI Hasto Kuncoro menyebut, program radio terkait mitigasi bencana akan meminimalkan risiko atau dampak bencana.

"Kentongan diharapkan mewujudkan masyarakat tangguh bencana dan ada budaya baru terkait mitigasi bencana," ucapnya.

Ia mencontohkan, sejumlah bencana yang terjadi di Tanah Air menunjukkan kesiapan mitigasi bencana di masyarakat belum terbangun. Sebagai contoh, korban likuifaksi di Petobo, Sulawesi Tengah, tinggal bertahun-tahun di daerah yang punya potensi bencana karena minim informasi.

Siaran Kentongan lanjutnya, akan menginformasikan pentingnya membuat rumah tahan gempa, serta potensi bencana lain yang juga bisa disebabkan oleh faktor manusia seperti banjir.

Mitigasi bencana bermakna serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Nama Kentongan dikaitkan dengan kearifan lokal pada sebagian masyarakat Indonesia sebagai penanda suatu peristiwa.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo menilai, Kentongan adalah program bagus dan bermanfaat bagi masyarakat terutama yang di desa-desa rawan bencana, baik pada pra, saat maupun pasca bencana.

"Edukasi, sosialisasi, pengumuman atau hiburan dapat disiarkan melalui radio ke seluruh pendengar di mana saja berada. Bahkan saat listrik mati radio bisa digunakan dengan baterai cadangan," ungkapnya.

 

Sumber: Suara Pembaruan

BNPB Ingin Ubah Kawasan Rawan Bencana Jadi Potensi Wisata

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, di balik daerah Indonesia yang rawan bencana, menyimpan banyak daya tarik untuk menjadi objek wisata. Asalkan, dapat dikelola secara mumpuni dan terintegrasi antar-pemangku kepentingan.

Kepala BNPB, Letnan Jenderal Doni Monardo, mengatakan, menjadikan kawasan rawan bencana menjadi objek wisata harus dilakukan dengan sistem mitigasi yang kuat. Pengelolaan kawasan wisata juga harus diawasi oleh tenaga-tenaga yang andal.

Sebagai contoh, kawasan rawan bencana yang bisa menjadi objek wisata seperti gunung merapi saat mengeluarkan lava pijar dari puncak kawah.

"Kita punya gunung api yang banyak tapi belum bisa menggunakannya dengan maksimal. BNPB ingin mencoba daerah yang memiliki potensi bencana tapi bisa jadi tempat wisata," kata Doni di Kementerian Pariwisata, Senin (9/9).

Menurut Doni, tidak semua negara memiliki karakteristik alam seperti di Indonesia. Sebab, hampir semua bentang alam di bumi nusantara bisa dijadikan tempat wisata. Dimulai dari pantai, hutan, hingga gunung api sekali pun.

Ia juga mencatat, sebanyak 12 persen coral terbaik di Indonesia juga berada di kawasan nusantara. "Ini yang harus di eksplor, kalau semua sistem terbangun dengan baik, kita akan siap. Tidak ada wisatawan yang menjadi korban. Turis tidak akan takut untuk berkunjung ke Indonesia," kata Doni.

Pada Senin (9/9) hari ini, Kementerian Pariwisata meluncurkan Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) sebagai standar pedoman pengelolaan bencana di kawasan wisata. Doni mengatakan, MKK akan menjadi acuan bagi BNPB bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Pariwisata ketika menghadapi bencana.

Pihaknya mengakui, urusan koordinasi dan standar operasional di tingkat daerah kerap menjadi masalah ketika bencana datang. Antar-lembaga perlu mengacu pada satu pedoman baku yang mengatur detail.  Baik ketika menghadapi bencana alam maupun non alam. Selain itu, hal yang paling penting yakni meminimalisasi dampak kerugian serta korban jiwa.

"Makanya, ada banyak komponen yang harus dilibatkan. Tidak hanya BPBD dan Dispar tapi semuanya sehingga tidak ada kekhawatiran dan kita siap berjaga-jaga," katanya.

Menurut Doni, setelah MKK diterbitkan pihaknya tengah menyiapkan draft Instruksi Presiden (Inpres) untuk semua daerah agar memiliki pedoman tata kelola bencana sesuai MKK. Pemerintah provinsi hingga kabupaten dan kota harus memiliki perencanaan yang matang dalam mengelola ancaman bencana.

"Dengan begitu kemungkinan kerugian korban jiwa akan lebih sedikit dan meningkatkan kepercayaan internasional terhadap pariwisata kita," katanya.

Sebagai informasi, pada 2018, terdapat 4.814 korban jiwa akibat bencana alam. Mayoritas disebabkan oleh bencana gempa bumi dan tsunami. Sementara tahun 2019, BNPB mencatat korban jiwa akibat bencana alam sudah sebanyak 402 jiwa. Mayoritas korban jiwa disebabkan oleh bencana banjir.

More Articles ...