logo2

ugm-logo

Kekeringan, Gempa, dan Kebakaran Dominasi Bencana Sukabumi

Ssbuah rumah makan di Jalan Ahmad Yani Kota Sukabumi kebakaran.

REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Bencana kebakaran, gempa, dan kekeringan mendominasi bencana yang terjadi pada Agustus 2019 di Kabupaten Sukabumi. Hal ini didasarkan data pada Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi.

"Pada Agustus 2019, ada 68 kejadian bencana yang terdata," ujar Koordinator Pusdalops BPBD Kabupaten Sukabumi, Daeng Sutisna kepada wartawan, Selasa (10/9).

Ada tiga jenis bencana yang paling banyak terjadi. Ketiganya adalah kekeringan 22 kejadian, gempa bumi 22 kejadian, dan kebakaran 19 kejadian. Selain itu, longsor sebanyak enam kejadian dan bencana lain enam kejadian.

Menurut Daeng, bencana di Agustus berdampak pada kerusakan rumah warga 68 rumah. Perinciannya rusak berat sebanyak 34 unit, rusak sedang 24 unit, dan rusak ringan sembilan unit serta satu unit lainnya terancam.

Daeng menuturkan, jumlah warga yang terdampak bencana di Agustus mencapai 50 kepala keluarga (KK) atau setara 147 jiwa. Selain itu ada warga yang mengungsi sebanyak 28 KK yang terdiri atas 89 jiwa.

Kerugian akibat bencana kata Daeng mencapai sekitar Rp 4,5 miliar. Hal ini didasarkan pendataan kerugian yang dilakukan petugas di lapangan.

Sebelumnya, kejadian bencana di Kabupaten Sukabumi dari rentang waktu Januari hingga Juli 2019 mencapai sebanyak 398 bencana. "Dari data yang ada longsor tetap mendominasi dibandingkan dengan yang lain," ujar Daeng.

Total bencana dalam kurun waktu Januari hingga Juli mencapai 398 kejadian. Daeng menuturkan, pada bulan itu terjadi tujuh kasus kebakaran, longsor 78 kejadian, banjir 16 kejadian, angin kencang 20 kejadian, pergerakan tanah 4 kejadian, dan lain-lain 1 kejadian. Selanjutnya waktu kejadian terbanyak bencana yakni Februari sebanyak 76 bencana yang terdiri atas kebakaran 15 kejadian, longsor 36 kejadian, banjir 3 kejadian, angin kencang 20 kejadian, dan  pergerakan tanah 2 kejadian.

Sementara kejadian bencana paling rendah terjadi pada Juli sebanyak 13 kasus. Data ini belum termasuk dampak gempa bumi yang terjadi di awal Agustus lalu. Pertama, gempa dengan magnitudo 6,9 yang terjadi pada Jumat (2/8) sekitar pukul 19.03 WIB. Selanjutnya, gempa magnitude 4,4 yang terjadi pada Sabtu (3/8) dini hari pukul 00.22 WIB.

 

Ajarkan Anak Mitigasi Bencana

JAKARTA – Pendidikan ten­tang mitigasi kebencanaan harus diajarkan kepada anak didik sejak dini agar menge­tahui langkah yang dilakukan saat terjadi bencana alam.

“Di Jepang, sejak kecil anak-anak diajarkan tentang miti­gasi bencana karena medianya di sekolah memberikan materi tersebut,” kata Anggota Komisi I DPR, Roy Suryo, saat menjadi narasumber mitigasi bencana alam, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Oleh karena itu, ia men­dorong hal yang sama juga dilakukan di Indonesia se­hingga anak-anak dapat mengetahui langkah yang perlu dilakukan saat terjadi bencana alam. “Kita tidak usah menyalahkan sekolah belum mengajarkan, tapi kita cari solusi,” tegasnya.

Menurut dia, fenomena saat ini, anak-anak lebih cende­rung memiliki intensitas tinggi menggunakan gawai atau telepon pintar dalam aktivi­tas sehari-hari. Padahal, alat elektronik tersebut memiliki keterbatasan apabila terjadi musibah bencana alam.

Sebagai contoh, peristiwa padamnya arus listrik di Ja­karta dan di sejumlah daerah lainnya beberapa waktu lalu yang mengakibatkan aktivi­tas masyarakat lumpuh total. “Efek listrik mati internet juga mati sehingga sebagian orang kebingungan karena keter­gantungan listrik,” kata dia.

Asisten Deputi Tanggap Bencana Kementerian Koor­dinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Ke­menko PMK), Nelwan Hara­hap, mengatakan terdapat tiga kapasitas yang harus dibangun masyarakat dalam menghadapi bencana alam.

Pertama, bagaimana mem­bangun kesadaran di dalam masyarakat. Setiap masyara­kat di Tanah Air harus memiliki kesadaran tinggi bahwa berada di daerah yang rawan bencana alam dengan risiko sedang hingga tinggi.

Kedua, masyarakat harus meningkatkan kapasitas terkait pengetahuan tentang kebenca­naan. Pengetahuan ini dituju­kan agar setiap orang menge­tahui langkah yang mesti dilakukan saat terjadi bencana alam.

“Selama ini banyaknya kor­ban jiwa dalam bencana alam disebabkan kepanikan ma­syarakat. “Pembunuh terbesar dari bencana itu bukan karena peristiwanya, tapi disebabkan diri kita sendiri yang tidak siap menghadapinya,” ujar dia.

Terakhir, untuk memini­malisir korban jiwa saat ben­cana alam, masyarakat harus menguatkan kapasitas keari­fan lokal dan membangun ko­munikasi secara cepat. Karena Golden Time saat peringatan dini hanya berkisar lima menit hingga lima jam serta tergan­tung jenis bencananya. “Dalam penelitian, penyelamatan saat situasi bencana itu 96 persen dilakukan oleh korban dan ko­munitasnya,” kata dia.

Menurut dia, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu membangun jejaring sosial dan saling mengingat­kan bila terjadi bencana alam. Sebagai contoh, program Da­sawisma yang terdiri dari 10 rumah terdekat saling berkoor­dinasi saat terjadi musibah.

Siaga Bencana

Sementara itu, Kasubdit Kesiapsiagaan dan Mitigasi Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, Ke­menterian Sosial, Tetrie Dar­wis menyampaikan, saat ini Kemensos telah memiliki 638 Kampung Siaga Bencana (KSB) yang tersebar di sejumlah pro­vinsi. KSB ini bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat tangguh bila terjadi bencana alam.

“Kemensos dua minggu yang lalu ke Jepang belajar tentang menghadapi bencana alam dan akan dikolaborasi­kan dengan banyak pihak,” kata dia. eko/Ant/E-3

More Articles ...