logo2

ugm-logo

Kebakaran Hutan Dominasi Bencana Alam di Jabar

https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/0.17670200-1567919482-dom-1567518901.jpeg.jpeg

LENGKONGAYOBANDUNG.COM -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat (Jabar) menyatakan peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019 di Provinsi Jabar didominasi oleh kebakaran hutan. Ada sebanyak 55 kebakaran hutan yang tercatat.

"Jumlah kejadian bencana alam sepanjang Agustus 2019 ini 117 kejadian dan dari jumlah tersebut didominasi oleh kejadian kebakaran hutan," kata Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Provinsi Jawa Barat, Budi Budiman Wahyu dalam siaran persnya, Sabtu (7/9/2019).

Ia menjelaskan, peristiwa bencana terbanyak kedua selama bulan lalu di Provinsi Jabar ditempati oleh kebakaran rumah dengan jumlah 38 kejadian. Lalu disusul angin puting beliung 12 kejadian dan tanah longsor 10 kejadian.

"Kemudian peristiwa gempa bumi terjadi dua kali atau hanya dua persen persen dari total kejadian bencana di Provinsi Jabar Agustus 2019 ini," kata dia

Ia menjelaskan, sebanyak 266 jiwa terdampak akibat peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019. Ada 83 rumah terdampak bencana alam yang terdiri atas 32 rumah rusak berat, 27 rumah rusak sedang, dan 24 rumah rusak ringan.

"Alhamdulillah dari jumlah kejadian yang terjadi selama bulan Agustus lalu tak satu pun korban jiwa yang tewas diakibatkan oleh kejadian bencana di Jabar selama Agustus kemarin," ujar Budi.

Lebih lanjut, ia mengatakan kebakaran yang terjadi di Provinsi Jabar memang disebabkan oleh kekeringan yang umumnya terjadi di wilayah Jabar bagian utara.

Akan tetapi kebakaran di sini bukan hanya terjadi di hutan tetapi juga lahan terbuka seperti lahan yang penuh alang-alang.

Alokasi Anggaran Bencana Belum Ideal

Mataram (Suara NTB) – Alokasi anggaran untuk penanganan bencana harus ditingkatkan. APBD pada daerah-daerah di NTB  hanya 0,02 persen. Angka ini masih jauh dari ideal untuk memaksimalkan penanggulangan bencana yang kompleks di NTB.

Hal itu disampaikan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, H.Ahsanul Khalik saat menghadiri workshop dengan tema Strengthening National Natural Disaster Preparedness : Perspectives from Local Governments di Jakarta, Selasa, 10 September 2019. Acara dihadiri Kepala BPBD se Indonesia yang rawan gempa.

Diskusi digagas oleh Centre For Strategic and International Studies berlangsung hangat. Dalam keterangan tertulisnya, Ahsanul Khalik menyebut, silih berganti Kepala Pelaksana BPBD dari berbagai provinsi memaparkan kondisi daerahnya. Termasuk Kepala Pelaksana BPBD Palu dan NTB.

Mantan Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB ini menyebut, semua daerah mengalokasikan APBD untuk bencana relative kecil. Padahal dari 14 jenis bencana alam, 11 diantaranya terjadi di NTB.

“Anggaran kebencanaan hanya 0,02 persen. Perlu dipikirkan kebijakan politik dari pusat di APBD atau di APBN,” sebut Khalik.

Idealnya, kata dia, dana penanggulangan bencana adalah 2 persen dari total APBD masing-masing daerah. ‘’Bisa 2 persen atau berapa. Intinya perlu ditingkatkan,’’sarannya.

Ahsanul Khalik juga memaparkan, soal gempa bumi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa banyak hal yang dipelajari. Diantaranya, system komando kebencanaan harus jelas. ‘’NTB sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai daerah rawan gempa,’’ katanya.

Dalam catatannya, tahun 1856 gempa, 1815 Gunung Tambora.

“Sejarah ini berulang selalu dilupakan masyarakat,’’ kata Khalik.

Sebagai solusi, literasi kebencanaan menjadi penting. Pengalaman terjadi bencana tahun 1978 dan 2018 begitu mudah dilupakan.

Penjelasan lain, sambung Khalik, setiap terjadi bencana ada kebingungan soal distribusi logistic bagi para penyintas. Hingga ada media yang menyampaikan informasi berseberangan dengan fakta lapangan. Dicontohkannya, saat korban gempa makan daun turi ditulis makan rumput.

‘’Akhirnya ramai. Petugas itu padahal menyisir  sampai di atas gunung, saat kejadian stok kebutuhan memang tak ada,’’ bebernya.

Lebih lanjut, penguatan penanggulangan bencana di daerah, pola vertical khusus provinsi atau penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di BPBD harus dipikirkan dengan baik.

‘’Bapak-bapak yang hadir tentu tahu. Di BPBD itu dianggap buangan itu terjadi pula di daerah lain. Lalu bagaimana bias bekerja optimal,’’ kata Khalik.

Ia mengakui, pendekatan kebencanaan tak hanya bisa dilakukan pemerintah. Perlu pula membangun komunitas dengan pendekatan kearifan lokal. Menjadi komunitas tangguh bencana. Di NTB ada masyarakat adat yang tak terpengaruh dengan gempa.

‘’Rumah adat tak rusak dan mereka bisa mitigasi sendiri. Ke depan komunitas ini harus digerakkan,’’urainya.

Berkaca dari sejumlah bencana, Khalik menambahkan, perlu ada statistik kebencanaan. Ini untuk mengetahui data prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Di NTB saat ini sedang mencoba membangun satu data kebencanaan belajar dari data 2018. Hal lain, dengan pendekatan agama dan budaya dilakukan pemerintah. Dengan agama ada brosur khutbah Jumat yang disebar ke masjid-masjid.

‘’Termasuk penguatan tokoh agama. Peran ini dilakukan oleh Non Government Organization (NGO. Pusat perlu berikan regulasi,’’ pungkasnya. (ars)

More Articles ...