logo2

ugm-logo

Arutmin sebut pembukaan lahan besar-besaran dapat menjadi penyebab banjir di Kalsel

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA.  Bencana banjir yang merendam Kalimantan Selatan (Kalsel) pada awal tahun 2021 ini diduga tak lepas dari kerusakan lingkungan dan alih fungsi kawasan hutan akibat pertambangan batubara.

Salah satu perusahaan tambang batubara berskala jumbo yang beroperasi di Kalsel adalah PT Arutmin Indonesia, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI), group usaha Bakrie.

General Manager Legal and External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani tak menampik, pembukaan lahan secara besar-besaran bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab banjir.

Pembukaan lahan tersebut bisa disebabkan oleh berbagai macam kegiatan seperti perkebunan khususnya sawit, pertambangan dan pertanian.

Kendati begitu, Ezra menegaskan bahwa penyebab utama terjadinya banjir di Kalsel perlu dilihat kembali dan dievaluasi secara mendalam.

"Seperti yang sudah disampaikan Bapak Presiden, curah hujan beberapa hari terakhir memang sangat tinggi, bahkan jauh di atas curah hujan rata-rata beberapa tahun terakhir. Selain itu sistem drainase apakah sudah cukup memadai atau tidak," kata Ezra saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (22/1).

Dalam hal pembukaan lahan, Ezra pun menekankan bahwa aktivitas tersebut harus dilihat kembali, apakah sudah memiliki kajian lingkungan (Amdal) yang sudah dievaluasi dan disetujui pemerintah, atau tidak.

Sebab fakta di lapangan menunjukan masih banyak ditemukan kegiatan-kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian dan pertambangan yang tidak dilakukan evaluasi kelayakan lingkungan dan tidak memiliki izin Amdal. "Hal ini perlu perhatian dan tindakan tegas dari pemerintah," sambung Ezra.

Lebih lanjut, dia juga mengklaim bahwa kegiatan reklamasi pasca tambang Arutmin Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1990-an dan terus berlangsung hingga sekarang.

"Praktek reklamasi pasca tambang Arutmin sudah banyak dijadikan contoh dan acuan bagi perusahaan pertambangan lain. Pemerintah sendiri bebetapa kali memberikan penghargaan atas keberhasilan reklamasi paska tambang di Arutmin," sebutnya.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Arutmin Indonesia memiliki tambang yang berlokasi di Satui, Senakin, Batulicin, dan Asam-asam, Kalimantan Selatan dengan luas mencapai 57.107 hektare (ha).

Setelah memperoleh perpanjangan izin dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK pada 2 November 2020, konsesi Arutmin diciutkan  40,1%. Dengan begitu, luas wilayah konsesi Arutmin menjadi sekitar 34.207 ha.

Di sisi lain, banjir di Kalsel juga mengganggu kegiatan operasional pertambangan, termasuk Arutmin. Kata Ezra, penambangan dengan cara open pit dapat terganggu ketika curah hujan tinggi. Namun dia memastikan bahwa kegiatan produksi batubara Arutmin terus berjalan.

"Banjir sedikit berdampak pada kegiatan operasional. Kita melakukan upaya teknis menghadapi curah hujan yang tinggi, agar tambang kita juga tidak dipenuhi oleh air," pungkas Ezra.

Kegagalan Cegah Banjir Kalimantan Selatan

Merdeka.com - Rukka Sombolinggi hanya geleng-geleng membaca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait banjir di Kalimantan Selatan. Dia kecewa. Merasa pernyataan Presiden tidak tegas ungkap penyebab banjir besar yang melanda sejak 13 Januari 2021 itu. Seakan menuduh hujan lebat menjadi akar masalah.

Sebagai Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Rukka meyakini banjir besar menerjang sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan akibat keserakahan pengusaha. Ini bisa terlihat bagaimana deforestasi terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi pertambangan maupun kebun kelapa sawit.

Sejak AMAN berdiri tahun 1999, beragam kerusakan alam di Kalimantan memang sudah terlihat. Kondisi ini juga berdampak pada suku Dayak, selaku masyarakat asli di sana. Salah satunya di Desa Dayak Meratus. Sehingga gerakan ini dibangun sebagai perlawanan agar hutan tidak semakin dirusak.

"Banjir yang terjadi Kalimantan Selatan itulah salah satu yang dicegah oleh masyarakat adat selama ini. Tapi pemerintah menutup mata," kata Rukka kepada merdeka.com, Kamis pekan lalu.

Pemerintah seakan tidak pernah mendengar beragam temuan kerusakan alam. Bagi Rukka, banyak izin usaha pertambangan maupun kepala sawit diberikan serampangan. Setidaknya sudah 50 persen lahan di Kalimantan Selatan dikuasai untuk tambang dan perkebunan.

Selama ini warga telah memperjuangkan supaya wilayah adat di Meratus berhenti dirampas, dikupas permukaannya, dan dikeruk isi perut bumi dari tangan tak bertanggungjawab. Sayang usaha itu masih belum dilirik pemerintah.

Greenpeace Indonesia mencatat sepanjang 2001-2019, wilayah Kalimantan Selatan kehilangan 304.223,9 Ha DAS (daerah aliran sungai). Penyebab terbesar yakni, perubahan fungsi lahan.

Adapun tiap tahun jumlah semakin meningkat. Hilangnya tutupan hutan pada 2001 sebanyak 4.274,3 Ha, kemudian 2002 sebesar 11.926,5 Ha, lanjut di 2003 sebanyak 16.615,7 Ha dan terus naik di 2004 sebanyak 16.751,2 Ha dan 2005 sebanyak 21.051,9 Ha.

Pada 2006, sedikit mengalami penurunan sehingga hanya 11.427,5 Ha. Namun, 2007 meningkat lagi menjadi 22.907,2 Ha, kemudian turun lagi di 2008 sebanyak 15.688,9 Ha. Penurunan juga terjadi di 2009 sebanyak 12.708,9 Ha dan 2010 sebanyak 14,464.5 Ha.

Memasuki 2011, kembali terjadi hilangan tutupan hutan sebesar 12,366.9 Ha. Angka itu terus naik di 2012 sebanyak 21,148.6 Ha. Pada 2013 sempat terjadi penurunan hingga 10.443,5 Ha. Kemudian pada 2014, di tahun Presiden Jokowi pertama menjabat justru terjadi peningkatan menjadi 15.190 Ha.

Angka itu terus naik di 2015 sebanyak 19.937 Ha dan puncaknya di 2016 sebanyak 49.388,8 Ha. Pada 2017 terjadi penurunan drastis sebanyak 8,157.4 Ha, lalu 2018 sempat kembali sebanyak 10,224.9 Ha, dan 2019 mengalami penurunan sebanyak 9.550.1 Ha.

Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Kompas menegaskan, dalam bencana ini proses pemberian izin tidak mempertimbangkan daya tampung lingkungan, dan proses pengawasan dan penegak hukum tidak dilakukan, dan tampak besar direklamasi dibiarkan. Termasuk tambang ilegal sehingga fungsi pemerintah tidak berjalan. Faktor kebijakan dan tata kelola sumber carut marut bagian pemicu bencana.

Katanya, Kalsel ini dikuasai Oligarki. Jadi fungsi pemerintah itu menjalankan regulasi itu sangat lemah. Jadi lebih banyak dipengaruhi Oligarki sehingga kemudian izinnya diberikan jor-joran tanpa memperhatikan lingkungan. "Penegakan hukum menjadi tumpul," ujar Arie kepada merdeka.com.

sumber: https://www.merdeka.com/khas/kegagalan-cegah-banjir-kalimantan-selatan-bencana-di-kalsel.html

More Articles ...