logo2

ugm-logo

5 Skenario PBB Baik-Buruk Dampak Perubahan Iklim hingga 2100

Jakarta, CNN Indonesia --  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis lima skenario kemungkinan di masa depan terkait dengan perubahan iklim.

Skenario ini merupakan hasil dari perhitungan kompleks yang bergantung pada seberapa cepat manusia mengekang emisi gas rumah kaca. Tapi perhitungan juga dimaksudkan untuk perubahan sosial ekonomi di berbagai bidang seperti populasi, kepadatan kota, pendidikan, penggunaan lahan, dan kekayaan.

Misalnya, peningkatan populasi diasumsikan menyebabkan permintaan yang lebih tinggi untuk bahan bakar fosil dan air. Kemudian pendidikan dapat mempengaruhi laju perkembangan teknologi. Sementara emisi meningkat ketika lahan dikonversi dari hutan menjadi lahan pertanian.

Setiap skenario diberi label untuk mengidentifikasi tingkat emisi dan apa yang disebut Jalur Sosial Ekonomi Bersama, atau Shared Socioeconomic Pathway (SSP) yang digunakan dalam perhitungan ini. Berikut lima model masa depan menurut PBB:

SSP1-1.9

Skenario paling optimis menurut PBB ini menggambarkan dunia di mana emisi CO2 global dikurangi menjadi nol sekitar tahun 2050. Kemudian masyarakat beralih dari pertumbuhan ekonomi ke kesejahteraan secara keseluruhan.

Kemudian investasi pada bidang pendidikan dan kesehatan meningkat. Ketimpangan terhapus, sementara cuaca ekstrem lebih sering terjadi, tapi dunia telah menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

Skenario pertama ini satu-satunya yang memenuhi tujuan Perjanjian Paris atau Paris Agreements untuk menjaga pemanasan global sekitar 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri.

SSP1-2.6

Dalam skenario terbaik berikutnya, emisi CO2 global sangat berkurang, tapi tidak secepat mencapai nol setelah 2050.

PBB membayangkan pergeseran sosial ekonomi yang sama menuju keberlanjutan seperti SSP1-1.9. Tetapi suhu stabil sekitar 1,8 Celcius lebih tinggi pada akhir abad ini atau tahun 2100.

SSP2-4.5

Ini merupakan skenario "jalan tengah". Emisi CO2 tetap turun pada tahun 2050, namun tidak mencapai nol bersih pada tahun 2100.

Kemajuan disebut melambat, pembangunan dan pendapatan juga tumbuh tidak merata. Dalam skenario ini, suhu naik 2,7 Celcius pada akhir 2100.

SSP3-7.0

Di skenario ini, emisi dan suhu meningkat dengan dan emisi CO2 kira-kira dua kali lipat pada 2100.

Negara-negara menjadi lebih kompetitif satu sama lain, bergeser ke arah keamanan nasional dan memastikan pasokan makanan mereka sendiri. Pada akhir tahun 2100, suhu rata-rata telah meningkat sebesar 3,6 Celcius.

SSP5-8.5

Ini adalah masa depan yang harus dihindari. Tingkat emisi CO2 pada skenario ini kira-kira dua kali lipat meningkat di tahun 2050.
Ekonomi global tumbuh dengan cepat, tetapi pertumbuhan ini didorong oleh eksploitasi bahan bakar fosil dan gaya hidup yang intensif.
Pada tahun 2100, suhu rata-rata global mencapai 4,4 Celcius lebih tinggi.

Apa yang Haurs Dipelajari?

Laporan iklim tidak dapat memberi tahu kita skenario mana yang paling mungkin karena semua tentu akan ditentukan oleh berbagai faktor termasuk kebijakan pemerintah. Tapi itu menunjukkan bagaimana pilihan semua negara atau individu pada hari ini yang akan mempengaruhi masa depan.

Dalam setiap skenario, pemanasan akan berlanjut setidaknya selama beberapa dekade. Permukaan laut akan terus naik selama ratusan atau ribuan tahun, dan Arktik akan praktis bebas dari es laut setidaknya dalam satu musim panas 30 tahun ke depan.

Tetapi seberapa cepat laut akan naik dan seberapa berbahayanya cuaca masih tergantung pada jalan mana yang dipilih dunia.

Dunia Bersiap soal Ancaman yang Lebih Ngeri dari Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda, dunia harus dihadapkan pada sebuah ancaman baru. Ancaman itu yakni soal perubahan iklim.

Ancaman bencana baru ini mulai digaungkan lagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan internasional itu mengatakan ini adalah "kode merah untuk kemanusiaan".

Tak hanya PBB, beberapa ilmuwan dan pemimpin dunia juga memberikan alarm yang sama. Mereka menyebut bahwa situasi global saat ini sudah memprihatinkan dan harus mendapatkan penanganan segera.

Ini setidaknya tertuang dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Disebutkan bahwa suhu dunia mungkin memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an.

Kenaikan ini disebut sangat mengancam negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik.Dengan meningkatnya suhu di atas 1,5°C, masyarakat Pasifik kemungkinan besar akan mengalami dampak perubahan iklim yang semakin menghancurkan.

Salah seorang profesor penelitian itu, Mark Howden yang juga Wakil Ketua Panel IPCC menyebut bahwa fenomena perubahan iklim ini akan memancing beberapa bencana berat yang akan dialami negara seperti Vanuatu dan Fiji. Mereka saat ini disebut mengalami ancaman dibanjiri air laut dan badai besar.

"Meskipun Pasifik diproyeksikan secara umum menghadapi lebih sedikit topan di bawah pemanasan di masa depan, mereka cenderung menjadi lebih intens," katanya.

"Ini, ditambah dengan kenaikan permukaan laut, akan memperburuk peristiwa gelombang badai mematikan di negara-negara seperti Fiji dan Vanuatu."

Tak hanya itu, kenaikan suhu dunia yang menaikkan ketinggian air laut juga disebut akan mengancam cadangan air bersih negara-negara seperti Mikronesia. Misalnya, penurunan 20% dalam ketersediaan air tanah diproyeksikan pada tahun 2050 di pulau atol karang Negara Federasi Mikronesia (FSM).

"Di bawah skenario kenaikan permukaan laut yang tinggi, ketersediaan air tanah segar di FSM dapat menurun lebih dari setengahnya karena intrusi air laut dan peristiwa kekeringan," tambanya.

Ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa pekan lalu.

Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, presiden negara adidaya itu menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia.

"Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahaniklim," tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov akhir bulan lalu

"...Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?"

Lalu apakah dunia sudah siap dengan ini?

Pekan lalu, China, yang selama ini dianggap jadi biang kerok kemunculan pandemi Covid-19 dan juga penghasil emisi karbon terbesar, justru mulai makin waspada soal masalah perubahan iklim.

Negeri Tirai Bambu ini akan merilis rencana terbaru untuk mengurangi emisi karbon. Langkah ini sebagai upaya konkret dari negara ini dalam menekan masalah perubahan iklim.

Utusan China mengatakan akan merilis rencana terbaru pengurangan emisi karbon itu dalam waktu dekat, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.

"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip AFP.

"Kemudian kita akan berbicara tentang dukungan itu untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow," tambahnya.

Pertemuan COP26 merupakan langkah penting untuk membuat negara-negara di dunia menyetujui jenis pengurangan emisi karbon guna mencegah bencana perubahan iklim.

Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara dimaksudkan untuk menyerahkan target iklim 2030 yang diperbarui sebelum COP26. Tetapi hampir setengahnya belum melakukannya, termasuk penghasil emisi global utama seperti China dan India.

PBB mendorong koalisi global yang berkomitmen untuk nol emisi karbon bersih pada tahun 2050 yang akan mencakup semua negara. China telah mengatakan akan bertujuan untuk netralitas karbon pada tahun 2060.

Perjanjian Paris 2015 mengadopsi janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan planet pada "jauh di bawah" dua derajat celcius dan batas aspirasi pada 1,5 derajat.

Sebelumnya China enggan berkomitmen Perjanjian Paris. Negeri Tirai Bambu berpendapat negara-negara industri, terutama di Barat, bisa menjadi kaya sebelum kontrol pengurangan karbon disahkan.

More Articles ...