logo2

ugm-logo

BNPB: 50 Persen Kabupaten-Kota Telah Miliki Kajian Risiko Bencana

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengatakan, dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, 50 persen telah memiliki kajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana. Raditya mengatakan, target kedepannya adalah membuat seluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki kajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana.

"Tantangan kita adalah 34 provinsi yang belum dengan 514 kabupaten/kota ini bisa memiliki, dan ini didukung penuh oleh Kementerian Dalam Negeri dan dengan adanya Permendagri 101/2018 bahwa mandatory (kewajiban) daerah memiliki informasi terkait kebencanaan," kata Raditya di BNDCC Badung, Bali, Kamis (26/5/2022).

Menurutnya, Rancangan Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020-2044 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden 87 tahun 2020 telah menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini mengarusutamakan pengurangan risiko bencana dalam perencanaannya. Selain itu, Raditya mengharapkan seluruh daerah memiliki kesiapsiagaan atau rencana kontinjensi.

Dengan demikian saat terjadi bencana, pemerintah daerah bisa menyikapi dengan respons yang lebih baik, dan pemerintah mendorong hal tersebut untuk capaian di tahun 2044. Hal tersebut hal juga menjadi upaya komitmen pemerintah Indonesia mewadahi dari Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (SFDRR) diturunkan menjadi implementasi, guna mencapai tujuh targetnya sebelum 2030.

DPR Hentikan Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi menghentikan pembahasan tingkat I Rancangan Undang-Undang atau RUU Penanggulangan Bencana. Sebabnya, pembahasan RUU ini tidak mengalami perkembangan karena perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR.

Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengatakan, RUU Penanggulangan Bencana sudah dibahas sejak tahun sidang 2020-2021 hingga 2021-2022. Namun, pembahasan cukup lama karena perbedaan pandangan terkait posisi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Lamanya pembahasan RUU Penanggulangan Bencana disebabkan adanya perbedaan rumusan nomenklatur BNPB antara RUU yang diajukan DPR RI dengan DIM RUU Penanggulangan Bencana yang diajukan pemerintah," jelas Yandri dalam rapat paripurna, Selasa (31/5/2022).

Komisi VIII DPR RI menginginkan BNPB disebut secara eksplisit pada kelembagaan. Sebab Komisi VIII ingin memperkuat BNPB melalui anggaran, kelembagaan, dan koordinasi.

"Sementara dalam DIM yang diajukan pemerintah bab kelembagaan hanya diisi dengan kata badan. Dengan alasan untuk memberikan fleksibilitas kepada presiden," kata Yandri.

Akibat beda pandangan ini, rapat Panja beberapa kali diskors. Komisi VIII telah melakukan lobi dengan Menteri Sosial tetapi tidak membuahkan hasil.

Karena mempertimbangkan fungsi legislasi dan aturan pembahasan RUU bahwa satu Komisi hanya bisa membahas satu RUU, akhirnya disepakati antara DPR, DPD, dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Penanggulangan Bencana.

Diambil Keputusan dalam Rapat Paripurna DPR

Akhirnya, dalam rapat paripurna diambil keputusan untuk menghentikan pembahasan RUU Penanggulangan Bencana.

"Kami menanyakan kepada peserta sidang yang terhormat apakah laporan Komisi VIII DPR RI terhadap pemberhentian pembahasan RUU tentang Penanggulangan Bencana dapat disetujui?" kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

"Setuju," jawab anggota dewan yang hadir.

Tak Ada Kesamaan, DPR Tunda Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana

Sebelumnya, Komisi VIII DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Bencana. Meski demikian, RUU ini tak dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI.

"RUU Penanggulangan Bencana dihentikan dulu, tanpa dihapus dari Prolegnas," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily kepada wartawan, dikutip Jumat (18/2/2022).

Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana dihentikan karena selama dua tahun belum ada kemajuan. Sebabnya belum ada kesamaan pandangan antara Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah, yaitu Kementerian Sosial (Kemensos).

Ace menjelaskan, RUU Penanggulangan Bencana diharapkan Komisi VIII DPR RI memperkuat status Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hanya saja draf pemerintah tidak mencantumkan BNPB secara eksplisit, tetapi hanya menyebut kata badan saja.

"Dan tidak diatur detil tentang tugas-tugas BNPB maupun BPBD sehingga inilah yang membuat kami dengan pemerintah memiliki pandangan yang berbeda," kata dia.

"Dalam pembahasan itu memang setelah hampir dua tahun pembahasan UU Penanggulangan Bencana kami belum menenukan titik temu antara pemerintah dengan dengan Komisi VIII," sambungnya.

Panja Pemerintah Putuskan Nomenklatur BNPB Tak Masuk dalam RUU Penanggulangan Bencana

Sementara itu, Panitia Kerja (Panja) Pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penanggulangan Bencana memutuskan tidak memasukkan nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam RUU yang tengah digodok di Komisi VIII DPR RI tersebut.

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau Risma yang mewakili Panja Pemerintah menyebut berdasarkan Surat Mensesneg tertanggal 26 Maret 2021, hal itu demi memberikan keleluasaan pengaturan kelembagaan BNPB di kemudian hari.

"Bahwal DIM (daftar inventarisasi masalah) Pemerintah atas RUU tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan kelembagaan secara umum agar tetap dipertahankan guna memberikan fleksibilitas pengaturan kelembagaan BNPB yang adaptif sesuai kebutuhan dan dapat mengakomodir perkembangan di masa depan. Penguatan kelembagaan BNPB dalam RUU tentang Penanggulangan Bencana dapat dilakukan melalui penguatan tugas dan fungsi," jelas Risma dalam Rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 17 Mei 2021.

Menurut Risma, kendati nomenklatur BNPB tidak tercantum dalam RUU Penanggulangan Bencana bukan berarti akan melemahkan kedudukan lembaga itu dalam penanganan bencana. Dalam hal ini, penguatan BNPB sangat tergantung dari penetapan kedudukan lembaga dalam Peraturan Presiden yang nantinya sepakat tetap di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

"Rancangan Undang-undang tidak menyebutkan nomenklatur lembaga tugas dan fungsi namun mendelegasikan pengaturannya dalam Peraturan Presiden, hal tersebut untuk memberikan fleksibilitas pengaturan yang memudahkan dalam melakukan perubahan yang mungkin akan terjadi sesuai dengan kondisi dan perkembangan kebutuhan organisasi yang akan datang sehingga organisasi kelembagaan penanganan bencana akan lebih adaptif dan responsif menyesuaikan dinamika perubahan yang terjadi," jelas Risma.

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com

More Articles ...