logo2

ugm-logo

Perkuat Kapasitas dan Ketangguhan Hadapi Bencana, BRI dan BNPB Gelar Pelatihan Kedaruratan Bencana

BOGOR – Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam, non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis bagi masyarakat.

Baik pemerintah maupun masyarakat secara bersama-sama melakukan berbagai upaya baik pada pra bencana, saat bencana maupun pasca bencana sehingga mampu meminimalisir korban baik dari aspek kerugian harta benda maupun nyawa manusia.

Dalam rangka mendorong kapasitas dan kapabilitas kedaruratan bencana, BRI berkolaborasi dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyelenggarakan kegiatan Pelatihan “In House Training Manajemen Kedaruratan Bencana bagi Tim Elang Relawan BRI Tahun 2023”.

Kegiatan ini dilaksanakan di Pusdiklat BNPB, Ciater, Bogor pada 22-26 Mei 2023 dan diikuti oleh 25 Tim Elang Relawan BRI dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Kegiatan ini juga merupakan kegiatan lanjutan dari IHT (In House Training) Pendidikan Dasar Penanganan Bencana bagi Tim Elang Relawan BRI pada 13-17 April 2021 lalu.

Dalam pelatihan ini, Tim Elang Relawan BRI mendapatkan pembekalan materi seperti manajemen penanggulangan darurat bencana; kaji cepat bencana; penyajian data dan pelaporan; tekhnologi, informasi dan komunikasi kaji cepat bencana;komunikasi dalam krisis;pertolongan pertama kegawatdaruratan serta perananan Keselamatandan Kesehatan Kerja (K3) dalam manajemen bencana.

Relawan yang berangkat ke lokasi bencana diharapkan memiliki sikap “Tangkas” yaitu kemampuan untuk secara cepat, cerdas dan tepat mengambil keputusan dan melangkah dengan keputusan tersebut untuk mengatasi bencana, menghadapi berbagai macam krisis dan memenangi persaingan.

Di samping itu, relawan juga harus memiliki sikap “Tanggap” yaitu responsif terhadap perubahan, mampu beradaptasi dan memanfaatkan peluang secara optimal serta “Tangguh” menghadapi kondisi atau situasi.
Tidak hanya mendapat pembekalan teori, para relawan juga diberikan pembekalan berupa simulasi bencana, pembinaan mental serta pembentukan karakter untuk menjadi relawan yang tangguh.

“Harapannya kegiatan ini menjadi wadah bagi Tim Elang Relawan BRI untuk bisa mendapatkan bekal dan ilmu yang cukup agar selalu siap menjalankan tugas ketika terjadi bencana. Kolaborasi dengan Pusdiklat BNPB ini juga diharapkan dapat terus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas bagi relawan untuk mendapatkan pembekalan yang cukup” ungkap Aestika Oryza Gunarto, Corporate Secretary BRI.

Tim Elang Relawan BRI sendiri merupakan Satuan Tugas Bencana yang beranggotakan pekerja BRI yang masih aktif dan tersebar di seluruh Unit Kerja BRI. Tujuan dibentuknya Tim Elang adalah untuk membantu penanganan tanggap darurat bencana di seluruh wilayah Indonesia.

Prioritas penanganan bencana antara lain keselamatan jiwa pekerja dan keluarga, pengamanan operasional dan aset BRI dan sinergi dalam pemberian bantuan BRI Group kepada masyarakat. Dalam pelaksanaanya, Tim Elang akan mencari dan mengumpukan informasi terkait kejadian bencana alam, menginventarisir dampak bencana alam, menyusun kebutuhan di wilayah bencana, melaksanakan assessment terhadap kejadian bencana alam, melaksanakan tanggap darurat bencana alam dan menyusun laporan pasca bencana. Pelaksanaan tanggap darurat bencana alam juga dapat dilakukan dengan kerjasama pihak ketiga antara lain, instansi pemerintah dan pihak pihak yang berkompeten lainnya. (adv)

BNPB: Perubahan iklim berpotensi picu kejadian bencana

Depok, Jabar (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengemukakan perubahan iklim yang kini terjadi di dunia berpotensi memicu kejadian bencana.

“Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrem,” katanya saat Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, Sabtu.

Ia mengatakan tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana, khususnya sejak tahun 1961.

Tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam juga dialami Indonesia dengan rata-rata kenaikan hingga 82 persen sejak 2010 hingga 2022.

"Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” katanya.

Dari data yang dihimpun BNPB pada lima bulan terakhir di 2023, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana.

“Kejadiannya didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen, dengan rincian 92,5 persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering. Sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi,” katanya.

Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir, kata Suharyanto menambahkan.

Ia mengatakan urbanisasi juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat.

Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan kemampuan alam dalam menyerap karbon melemah dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.

Ia mengatakan dampak perubahan iklim tidak hanya terjadi di wilayah hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.

“Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir," ujarnya.

Catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46 persen dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.

Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

“Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat," katanya.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas lahan terdampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan.

Pada tahun 2019 dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara.

“Ini semua menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal,” katanya.

Di akhir sambutan, Suharyanto mengapresiasi keterlibatan berbagai elemen pentahelix dalam penanggulangan bencana.

“Mengatasi dampak perubahan iklim harus sama-sama kita dukung, karena Pemerintah tidak akan bisa bekerja secara optimal tanpa adanya dukungan dari berbagai elemen bangsa termasuk LPBI NU sebagai komunitas penanggulangan bencana,” katanya.

Pada agenda itu turut dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara BNPB dengan LPBI NU untuk memperkuat kerja sama yang telah berjalan dengan baik.

Hadir bersama Kepala BNPB, Plt. Sekretaris Utama BNPB, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Kepala Biro Hukum Organisasi dan Kerjasama BNPB dan Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.

More Articles ...