logo2

ugm-logo

Defisit BPJS akibat pembiayaan penyakit karena rokok perlu solusi

Defisit BPJS akibat pembiayaan penyakit karena rokok perlu solusi

Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar kesehatan menilai defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp9,1 triliun karena penyakit katastropik yang dipicu rokok memerlukan solusi agar tidak berkepanjangan.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan perokok akan terekspos ancaman kanker 13 kali lipat lebih tinggi dibandingkan nonperokok.

Data World Health Organization (WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru secara global, jelasnya.

Penyebab defisit tersebut salah satunya karena membiayai peserta BPJS untuk penduduk yang menderita penyakit tidak menular kategori katastropik seperti jantung, stroke dan kanker. Penyakit katastropik adalah penyakit yang membutuhkan biaya besar dan terus-terusan tidak bisa satu kali berobat sembuh.

Pakar Kesehatan Publik dan Ketua Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) Rosa Christiana Ginting menyayangkan adanya ironi rokok adalah salah satu faktor risiko utama penyebab kanker paru-paru.

Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia. Namun, kita juga harus mempertimbangkan bahwa perokok sering menghadapi gejala 'withdrawal' yang merupakan akibat dari proses berhenti merokok, terang dia.

Dia mengatakan terdapat pengalaman perokok yang gagal berhenti seperti tremor, kecemasan, berkeringat secara berlebihan, hiperaktif, peningkatan detak jantung, bahkan mual dan muntah dapat dialami.

Gejala-gejala itu merupakan variasi dari gejala "withdrawal". Maka sangat penting untuk melihat alternatif yang tepat guna membantu seseorang berhenti merokok, kata dia.

Badan Jaminan Kesehatan Inggris (England National Health Service) telah mengikutsertakan metode Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) sebagai alat bantu berhenti merokok di layanan berhenti merokok mereka dan terbukti efektif," jelas dia.

Visiting Professor dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Tikki Pangestu, menyebutkan perlu pendekatan lain demi berhenti merokok.

Dia menerangkan ENDS dapat membantu perokok yang ingin berhenti atau beralih ke produk alternatif. Di negara maju, memaksa perokok untuk berhenti tergolong sangat sulit sehingga perlu dialihkan ke produk pengganti seperti rokok elektrik yang lebih sehat dari pada rokok bakar konvensional yaitu ENDS.

Selalu Banyak Korban, Perlu Mitigasi dan Literasi Bencana

FAJARONLINE.CO.ID, MAKASSAR,— Rata-rata bencana alam di Indonesia, khususnya gempa banyak menelan korban jiwa karena ketidak pahaman mitigasi bencana. Literasi bencana sebagai pendorong pun dinilai belum tersampaikan.

Hal tersebut terkuak pada Common Room dengan tema Lase, Disaster and Resilience pada pagelaran Makassar International Writers Festival 2019, di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Kamis, 27 Juni.

Maman Suherman membeberkan, bahwa bersadarkan data BNPB rata-rata per bulan 500 kali terjadi gempa di Indonesia. “Dengan skala yang berbeda-beda,” ujarnya.

Hanya saja, hingga saat ini belum ada pemahaman literasi yang tegas bagaimana memahami bencana secara ilmiah. Dengan tersampaikan langsung ke masyarakat.

Salah seorang peneliti dan penulis asal Palu, Neni Muhidin membenarkan hal tersebut. Kata dia, hal tersebut diketahui jelas usai bencana di Palu.

Justru, pada saat itu, masyarakat lari malah ke pusat gempat. Padahal, sejak 2014 lalu ilmuwan telah menyampaikan akan ada pergeseran lempek di ibu kota Sulawesi Tengah itu yang memang merupakan teluk.

Hingga saat ini, pemerintah hanya hadir sebagai pengambil kebijakan. Belum memetakan zonasi kondisi wilayah dan pemahaman terkait bencana ke masyarakat.

Kondisi yang sama disampaikan Penulis asal Lombok, Ilda Karwayu, hingga saat ini kondisi di Mataram, Lombok itu belum sama sekali stabil. “Kondisi membaik itu hanya saat kedatangan Presiden,” bebernya.

Bahkan, masih sering terjadi gempa-gempa kecil. Masyarakat masih kaget-kaget karena tidak mengetahui zonasi atau wilayah yang menjadi pusat gempa. Serta perilaku-perilaku untuk mengatisipasi. “Literasi bencana tidak dipahami,” tegasnya.  Sementara, penjarahan masi sesekali terjadi. Sebab, masyarakat yang di bukit-bukit bantuan mereka tidak sampai.

Salah satu pemantik, Khazuhiza Matsui, setelah membandingkan dengan Jepang, di Indonesia daerah yang siap menghadapi bencana alam terutama gempa hanya Padang.

“Di sana sudah ada zonasi, warna merah, kuning, dan hijau,” bebernya. Warna mewakili titik terparah jika ada bencana seperti gempa dan sebagainya.

Seperti di Jepang, setiap saat terjadi gempa. Tetapi karena masyarakat paham dan sudah bisa tahu untuk skala gemp jadi tidak panik lagi. Misalnya, untuk skala empat mereka sudah tidak keluar rumah. “Sebab justru lebih berbahaya di luar rumah,” kata dia.

Kecuali untuk skala enam hingga tujuh barulah mereka ke tempat yang sudah ditentukan. Pemahaman masyarakat atas bencana sudah begitu masif dipahami.

Sebab, literasi secara ilmiah sudah dipahami. Setidaknya menghindari kemungkinan besar bisa dirasakan dampak lebih besar.

Setelah melakukan riset dan beberapa karya sastra terkait bencana alam dan sebagainya, Fira Basuki pun menyampaikan, bahwa saat ini Indonesia perlu pemahaman tentang literasi bencana. (sal-ham)

More Articles ...