Indonesia memang indah, tapi di balik keindahan itu tersimpan kenyataan pahit: sekitar 150 juta orang atau hampir separuh penduduk negeri ini hidup di zona rawan gempa. Data ini bukan sekadar angka, melainkan cermin betapa rapuhnya kehidupan kita jika tidak disiapkan dengan baik.
Kenapa Bisa Begitu?
Letak Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng besar dunia: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Posisi ini membuat kita kaya gunung api, subur tanahnya, tapi juga penuh risiko: gempa, tsunami, dan longsor.
Ada lebih dari 7.000 km jalur subduksi (tempat lempeng saling bertumbukan).
Ada 3.000 km jalur sesar aktif yang bisa bergeser kapan saja.
Dengan kondisi ini, wajar jika kita disebut “supermarket bencana.” Pertanyaannya: apakah kita hanya mau jadi pelanggan tetap bencana, atau kita belajar jadi masyarakat yang siap menghadapinya?
Apa Artinya Bagi Kita?
Mari bayangkan sederhana.
Rumah yang kita tinggali, apakah benar-benar kokoh menghadapi guncangan?
Sekolah dan rumah sakit, apakah sudah dibangun dengan standar tahan gempa?
Anak-anak kita, apakah sudah tahu harus lari ke mana kalau sirine tsunami berbunyi?
Kalau jawabannya “belum”, berarti kita sedang hidup di atas bom waktu.
Tantangan Nyata
Badan Geologi menyebutkan:
5 juta orang tinggal di kawasan rawan tsunami.
Ratusan kali tanah longsor terjadi tiap tahun, menghancurkan rumah dan lahan pertanian.
Korban gempa sejak tahun 2000 sudah mencapai 250 ribu jiwa.
Angka itu harusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa bencana bukan sekadar “kemungkinan”, tapi kenyataan yang berulang.
Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan?
Ada dua lapisan perlindungan: dari atas (pemerintah) dan dari bawah (masyarakat).
Pemerintah perlu memperbarui peta rawan bencana, memastikan pembangunan sesuai standar, dan menyiapkan jalur evakuasi.
Masyarakat perlu belajar sederhana: tahu titik kumpul saat gempa, ikut simulasi, dan memastikan rumah dibangun lebih aman.
Seperti kata pepatah, “Bencana memang tak bisa dicegah, tapi korban bisa dikurangi.”
Hidup di Indonesia berarti hidup di tanah yang terus bergerak. Kita tidak bisa memindahkan gunung atau menutup jalur sesar, tapi kita bisa mengubah cara berpikir. Dari sekadar takut, menjadi siap. Dari sekadar pasrah, menjadi tangguh.
Karena sejatinya, yang membuat gempa berbahaya bukan hanya guncangannya, tapi juga kelalaian kita menyiapkan diri.