logo2

ugm-logo

Blog

Bantu Bencana, ACT dan 5 NGO Lain Dapat Penghargaan dari Pemkab Sigi

Bantu Bencana, ACT dan 5 NGO Lain Dapat Penghargaan dari Pemkab Sigi

Jakarta - Aksi Cepat Tanggap (ACT) mendapat penghargaan dari pemerintah Sigi atas bantuan kemanusiaan dalam penanggulangan korban gempa bumi dan likuifaksi yang telah terjadi pada September 2018 silam. Penyerahan penghargaan tersebut diberikan langsung oleh pemerintah Kabupaten Sigi pada puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Sigi yang ke-11 di Desa Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa, Sigi.

Tidak hanya ACT, terdapat lima Non Governmental Organization (NGO) Internasional lainnya yang juga meraih penghargaan dari pemerintah daerah Sigi yaitu UNDP, UNICEF, JICA, Islam Relief, dan KUN Internasional.

Bupati Sigi, Mohamad Irwan Lapata mengatakan peringatan HUT digelar agar pemerintah senantiasa dekat dengan masyarakat. "Penghargaan yang diberikan kepada ACT bersama NGO lainnya sebagai bentuk terima kasih pemerintah daerah Sigi atas bantuan yang telah dilaksanakan dalam penanganan korban bencana alam baik saat bencana hingga pasca bencana," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Minggu (30/6/2019).

Pada peringatan hari jadi tersebut, ia juga menyampaikan hasil perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA), yang menyebutkan bahwa kerugian infrastruktur yang dialami Kabupaten Sigi akibat bencana alam tersebut kurang lebih Rp 11,1 triliun.

Sebagai lembaga kemanusiaan, hingga kini ACT terus mendampingi warga yang terdampak bencana pada 28 September 2018 silam. Selain menyalurkan paket pangan, ACT juga telah membangun hunian sementara, masjid permanen, sekolah hingga pemulihan ekonomi masyarakat.

Adapun, di Kabupaten Sigi ACT telah membangun lima Kompleks Hunian Nyaman Terpadu atau Integrated Community Shelter(ICS) yang tersebar di Desa Sibalaya, Soulowe, Langaleso dan Lolu serta Desa Sidera.

Kepala Cabang ACT Sulawesi Nurmarjani Loulembah juga menambahkan ungkapan rasa terima kasihnya kepada para dermawan ACT. Baginya, kehadiran para Dermawan membantu tercapainya program-program kemanusiaan secara maksimal. Sehingga, penghargaan ini dapat diperoleh bersama dengan NGO Internasional lainnya.

"Terima kasih saya ucapkan kepada para Dermawan ACT yang sampai saat ini masih terus bersama kami. Apa yang telah diberikan melalui lembaga ini membantu kami dalam memaksimalkan program-program kerja yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat," terangnya.

Selain itu, ACT juga berharap semakin banyak kerja sama yang terus dapat dibangun tidak hanya kepada pemerintah tapi partner lainnya baik dalam negeri dan global.

Dengan tema "Dengan Semangat HUT ke-11 Kita Wujudkan Kabupaten Sigi yang Maju dan Mandiri Berbasis Ekonomi Kerakyatan melalui Penegakan Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik", Bupati mengajak semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama membangun Kabupaten Sigi agar kembali pulih, semakin maju, mandiri, dan dapat bersaing dengan daerah lainnya untuk kemajuan ekonomi Indonesia.
(prf/ega)

Cianjur Targetkan Relawan Tangguh Bencana di 360 Desa

Sejumlah warga membersihkan rumah ambruk di lokasi bencana pergerakan tanah di Desa Waringinsari, Kecamatan Takokak, Cianjur, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, CIANJUR -- Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat membentuk relawan tangguh kebencanaan hingga di tingkat desa. Keberadaan relawan ini untuk membantu optimalisasi upaya pencegahan dan penanganan bencana di lapangan.

"Relawan kebencananan ini penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan warga menghadapi bencana," ujar Plt Bupati Cianjur, Herman Suherman kepada wartawan, Ahad (30/6).

Cianjur termasuk salah satu daerah di Jawa Barat yang potensi bencananya cukup tinggi. Herman menerangkan, saat ini relawan kebencanaan masih terbentuk di 90 desa di 16 kecamatan. Targetnya, semua desa di Cianjur yang mencapai 360 desa di 32 kecamatan dapat memiliki relawan kebencanaan.

Menurut Herman, saat ini di setiap desa terdapat sebanyak satu orang relawan bencana. Namun, rencananya jumlah relawan bencana per desa akan ditambah menjadi lima orang.

Para relawan akan mendapatkan insentif sebesar Rp 100 ribu per bulan. Alokasi anggarannya akan dimasukkan dalam APBD Perubahan 2019.

Pemberian insentif ini sebagai bentuk pembinaan dan penghargaan kepada para relawan bencana. Keberadaan relawan dinilai mempunyai tugas yang berat dalam mengidentifikasi potensi bencana dan melakukan sosialisasi kesiapsiagaan menghadapi bencana di tengah masyarakat.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur, Dodi Permadi menambahkan, upaya penanganan bencana diawali dengan adanya pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. "Peran ini dapat melibatkan semua elemen masyarakat termasuk relawan," kata dia.

Menurut dia, upaya penanganan biasanya akan memakan biaya besar. Jika pencegahan dan kesiapsiagaan bencana dikedepankan maka dapat menekan biaya lebih kecil.

Dodi mengatakan diperlukan relawan dalam jumlah lebih banyak. Relawan menjadi kepanjangan tangan dalam meningkatkan kesiapsiagaan warga menghadapi kebencanaan.

Sekretaris BPBD Kabupaten Cianjur Sugeng Supriyatno mengatakan, para relawan akan diarahkan untuk melakukan mitigasi atau mengidentifikasi bencana, mulai dari keretakan dan kelabilan tanah di daerahnya. Hal itu agar nantinya pemetaan kerawanan bencana dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Defisit BPJS akibat pembiayaan penyakit karena rokok perlu solusi

Defisit BPJS akibat pembiayaan penyakit karena rokok perlu solusi

Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar kesehatan menilai defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp9,1 triliun karena penyakit katastropik yang dipicu rokok memerlukan solusi agar tidak berkepanjangan.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan perokok akan terekspos ancaman kanker 13 kali lipat lebih tinggi dibandingkan nonperokok.

Data World Health Organization (WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru secara global, jelasnya.

Penyebab defisit tersebut salah satunya karena membiayai peserta BPJS untuk penduduk yang menderita penyakit tidak menular kategori katastropik seperti jantung, stroke dan kanker. Penyakit katastropik adalah penyakit yang membutuhkan biaya besar dan terus-terusan tidak bisa satu kali berobat sembuh.

Pakar Kesehatan Publik dan Ketua Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) Rosa Christiana Ginting menyayangkan adanya ironi rokok adalah salah satu faktor risiko utama penyebab kanker paru-paru.

Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia. Namun, kita juga harus mempertimbangkan bahwa perokok sering menghadapi gejala 'withdrawal' yang merupakan akibat dari proses berhenti merokok, terang dia.

Dia mengatakan terdapat pengalaman perokok yang gagal berhenti seperti tremor, kecemasan, berkeringat secara berlebihan, hiperaktif, peningkatan detak jantung, bahkan mual dan muntah dapat dialami.

Gejala-gejala itu merupakan variasi dari gejala "withdrawal". Maka sangat penting untuk melihat alternatif yang tepat guna membantu seseorang berhenti merokok, kata dia.

Badan Jaminan Kesehatan Inggris (England National Health Service) telah mengikutsertakan metode Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) sebagai alat bantu berhenti merokok di layanan berhenti merokok mereka dan terbukti efektif," jelas dia.

Visiting Professor dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Tikki Pangestu, menyebutkan perlu pendekatan lain demi berhenti merokok.

Dia menerangkan ENDS dapat membantu perokok yang ingin berhenti atau beralih ke produk alternatif. Di negara maju, memaksa perokok untuk berhenti tergolong sangat sulit sehingga perlu dialihkan ke produk pengganti seperti rokok elektrik yang lebih sehat dari pada rokok bakar konvensional yaitu ENDS.

Selalu Banyak Korban, Perlu Mitigasi dan Literasi Bencana

FAJARONLINE.CO.ID, MAKASSAR,— Rata-rata bencana alam di Indonesia, khususnya gempa banyak menelan korban jiwa karena ketidak pahaman mitigasi bencana. Literasi bencana sebagai pendorong pun dinilai belum tersampaikan.

Hal tersebut terkuak pada Common Room dengan tema Lase, Disaster and Resilience pada pagelaran Makassar International Writers Festival 2019, di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Kamis, 27 Juni.

Maman Suherman membeberkan, bahwa bersadarkan data BNPB rata-rata per bulan 500 kali terjadi gempa di Indonesia. “Dengan skala yang berbeda-beda,” ujarnya.

Hanya saja, hingga saat ini belum ada pemahaman literasi yang tegas bagaimana memahami bencana secara ilmiah. Dengan tersampaikan langsung ke masyarakat.

Salah seorang peneliti dan penulis asal Palu, Neni Muhidin membenarkan hal tersebut. Kata dia, hal tersebut diketahui jelas usai bencana di Palu.

Justru, pada saat itu, masyarakat lari malah ke pusat gempat. Padahal, sejak 2014 lalu ilmuwan telah menyampaikan akan ada pergeseran lempek di ibu kota Sulawesi Tengah itu yang memang merupakan teluk.

Hingga saat ini, pemerintah hanya hadir sebagai pengambil kebijakan. Belum memetakan zonasi kondisi wilayah dan pemahaman terkait bencana ke masyarakat.

Kondisi yang sama disampaikan Penulis asal Lombok, Ilda Karwayu, hingga saat ini kondisi di Mataram, Lombok itu belum sama sekali stabil. “Kondisi membaik itu hanya saat kedatangan Presiden,” bebernya.

Bahkan, masih sering terjadi gempa-gempa kecil. Masyarakat masih kaget-kaget karena tidak mengetahui zonasi atau wilayah yang menjadi pusat gempa. Serta perilaku-perilaku untuk mengatisipasi. “Literasi bencana tidak dipahami,” tegasnya.  Sementara, penjarahan masi sesekali terjadi. Sebab, masyarakat yang di bukit-bukit bantuan mereka tidak sampai.

Salah satu pemantik, Khazuhiza Matsui, setelah membandingkan dengan Jepang, di Indonesia daerah yang siap menghadapi bencana alam terutama gempa hanya Padang.

“Di sana sudah ada zonasi, warna merah, kuning, dan hijau,” bebernya. Warna mewakili titik terparah jika ada bencana seperti gempa dan sebagainya.

Seperti di Jepang, setiap saat terjadi gempa. Tetapi karena masyarakat paham dan sudah bisa tahu untuk skala gemp jadi tidak panik lagi. Misalnya, untuk skala empat mereka sudah tidak keluar rumah. “Sebab justru lebih berbahaya di luar rumah,” kata dia.

Kecuali untuk skala enam hingga tujuh barulah mereka ke tempat yang sudah ditentukan. Pemahaman masyarakat atas bencana sudah begitu masif dipahami.

Sebab, literasi secara ilmiah sudah dipahami. Setidaknya menghindari kemungkinan besar bisa dirasakan dampak lebih besar.

Setelah melakukan riset dan beberapa karya sastra terkait bencana alam dan sebagainya, Fira Basuki pun menyampaikan, bahwa saat ini Indonesia perlu pemahaman tentang literasi bencana. (sal-ham)

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya

Suara.com - Belakangan, kabar mengenai turis yang ramai mengunjungi situs bekas bencana nuklir Chernobyl di Pripyat, Ukraina sedang heboh dibicarakan.

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana turis gemar berkunjung ke lokasi bencana hanya demi mengambil foto dan selfie.

Akibatnya, banyak yang menganggap jika ulah para turis ini sudah keterlaluan dan tidak menghormati tragedi yang pernah terjadi.

Meski begitu, fenomena turis berkunjung ke lokasi bekas bencana atau tragedi ternyata bukan cuma sekali atau dua kali terjadi.

Dirangkum dari laman CNN, fenomena ini lebih dikenal dengan nama dark tourism dan mengacu pada kegemaran turis mengunjungi lokasi seperti kamp konsentrasi Nazi hingga 9/11 Memorial and Museum. Sisa-sisa jenazah di Kota Kuno Pompeii. (Shutterstock)

Sisa-sisa jenazah di Kota Kuno Pompeii. (Shutterstock)

Dark tourism sendiri merupakan istilah yang dibuat pada tahun 1990-an silam oleh para akademisi.

Disebut juga dengan thanatourism yang diambil dari bahasa Yunani 'thanatos' atau 'kematian', dark tourism dideskripsikan sebagai aktivitas wisata yang memiliki asosiasi dengan kehancuran dan kematian.

Namun, budaya dark tourism atau thanatourism ini rupanya sudah ada bahkan sejak sebelum tahun 90-an.

Salah satu contohnya adalah Pompeii, kota di Roma yang hancur akibat bencana gunung berapi dan mulai ramai dikunjungi turis sejak 1700-an.

Lalu, ada pula Koloseum di Roma yang senantiasa ramai dikunjungi turis padahal dulunya merupakan tempat bertarung hingga mati.

"Tidak seperti yang terlihat, ini bukan tren wisata baru," ujar Peter Hohenhaus, salah satu travelers yang gemar melakukan dark tourism.

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya - 2

Menanggapi minat wisatawan terhadap dark tourism yang sudah ada sejak dulu ini, seorang pakar dari Althone Institute of Technology di Irlandia pun menjelaskan motivasi para turis.

Disebutkan, beberapa turis mungkin hanya kebetulan berkunjung karena penasaran. Ada pula yang datang karena memang memiliki minat sejarah.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri jika ada yang mengunjungi tempat wisata macam ini untuk "bersenang-senang" dan punya niat lain. Namun, hal macam ini ternyata tidak sering terjadi.

"Seringnya, niat para pengunjung adalah untuk mempelajari sejarah gelap yang ada, juga sebagai refleksi tentang apa yang salah di masa lalu dan apa yang dapat mereka pelajari agar tidak terulang di masa depan," ucap pakar dari Althone Institute of Technology.

Tetapi, menilik banyaknya turis yang datang demi selfie dan bersikap tidak sopan, ada pula yang menyarankan agar setiap turis memikirkan niat mereka sebelum berkunjung.

"Sebelum datang ke lokasi yang berasosiasi dengan kematian dan tragedi, penting untuk memikirkan niatmu. Apa kau datang untuk menghormati dan memahami, atau untuk mengambil selfie?"