TEMPO.CO, Yogyakarta--Peneliti bencana dari Universitas Osaka Jepang bersama Institute of International Studies (IIS) UGM dan PT. Gamatechno Indonesia meresmikan program pengembangan sistem informasi bencana memanfaatkan teknologi telepon pintar dan melibatkan komunitas warga sebagai penyuplai data.
Novan Hartadi, Manajer Riset PT. Gamatechno Indonesia mengatakan pola kerja sistem informasi ini memperbaiki proses keterlibatan warga menyupai data bencana lewat media sosial seperti terjadi selama ini. "Begitu bencana terjadi, informasi berseliweran di media sosial, tapi sayangnya identitas pemberi data dan lokasinya sulit dipastikan," ujar dia di sela peluncuran program tersebut di kampus Fisipol UGM pada Senin, 21 Oktober 2013.
Menurut Novan, perusahaanya sedang membangun aplikasi telepon pintar yang berfungsi memfasilitasi warga dalam menyuplai informasi bencana. Aplikasi itu bisa berfungsi apabila pemakainya memberikan data identitas dan mengaktifkan sistem GPS telepon pintarnya agar lokasi pengirim data terlacak server. "Pengaktifan aplikasi ini bisa membangun sistem informasi apabila digunakan 10 persen populasi di DIY yang persebaran lokasinya merata di semua kawasan," ujar dia.
Novan mengatakan sistem informasi ini akan dibangun pertama kali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan perkiraan jumlah penduduk 3,5 juta, maka penggunaan aplikasi ini setidaknya melibatkan 350 ribu orang. "Mereka bisa merupakan perwakilan setiap komunitas warga di banyak kawasan yang menyebar merata di DIY," ujar Novan.
Begitu bencana seperti erupsi, gempa bumi atau tsunami terjadi, mereka bisa langsung mengirim informasi mengenai jumlah korban, kerusakan, hingga gambar. Mereka juga bisa mengajukan pertanyaan mengenai lokasi pengungsia, daerah rawan hingga sumber cadangan logistik ke operator server lewat aplikasi. "Kelemahannya, kalau infrastruktur rusak sehingga jaringan seluler, internet atau listrik mati, maka manfaat aplikasi ini barus bisa didapatkan setelah beberapa hari ketika situasi agak normal," kata Novan.
Meskipun demikian, aplikasi tersebut bisa bermanfaat mengaktifkan kerja sistem informasi bencana ketika suatu wabah penyakit terjadi. Misalnya, kata Novan, di kasus persebaran flu burung, pengumpulan data persebaran epidemi virus bisa segera dikumpulkan dan dipetakan. "Aplikasi tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan edukasi sadar bencana kepada komunitas warga," kata dia.
Proses pembangunan sistem informasi ini berlangsung mulai Oktober 2013 hingga
Agustus 2014. Menurut Novan masa hampir setahun mendatang itu dipakai untuk mempersiapkan aplikasi dan server, yang mampu menampung jutaan data dalam waktu cepat, serta pemilihan pemakai aplikasi. "Meskipun harus memakai telepon pintar, sistem masih mungkin dijalankan karena hanya butuh 10 persen populasi yang menyebar di setiap desa atau kawasan komunitas di seluruh DIY," ujar dia.
Proses kampanye untuk mencari warga pemakai aplikasi ini akan dijalankan oleh IIS UGM bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY dan Palang Merah Indonesia (PMI) DIY. "Keberadaan komunitas pemakai yang menyebar menentukan kualitas data sistem ini," ujar Novan.
Peneliti bencana dari Revitalizing and Enriching Society through Pluralism, Equity, and Cultural Transformation (Respect) Universitas Osaka, Jepang, Stefano Tsukamoto merupakan penggagas sistem ini. Menurut dia meskipun menjanjikan pola pengumpulan data yang sistematis dengan pemetaan geografis jelas, sistem ini hanya bersifat pelengkap. "Karena berbasis jaringan GSM dan CDMA serta tephon pintar," ujar dia.
Menurut Stefano keberadaan sistem ini akan membantu menyempurnakan pengorganisasian data efek bencana yang selema ini ada di pemerintahan lokal maupun pusat. Stefano mengatakan sudah banyak meneliti sistem informasi kebencanaan banyak negara, termasuk Indonesia dan Jepang, yang kelemahan utamanya tidak memiliki koneksi antar sektor yang kuat. "Koneksi data antara pemerintah lokal dengan pemerintah lokal lain dan pemerintah pusat sering tidak terhubung, semua berjalan sendiri-sendiri," ujar dia.
Kondisi ini, menurut Stefano membuat kebijakan penanganan bencana tidak bisa cepat dilakukan. Apalagi, kesalahan data kerap memicu salah penerapan kebijakan. "Sistem informasi yang sedang kami bangun bisa mengatasi kelemahan ini," ujar dia.
Di tempat yang sama, Danang Syamsu Rizal, Manajer mengendalian operasi BPBD DIY menilai sistem informasi ini bermanfaat memperbaiki kebijakan penanganan bencana. Menurut dia keunggulannya karena data yang masuk bisa langsung dipetakan asal lokasi geografisnya. "Ketika erupsi merapi 2010 dulu, banyak data masuk tapi susah jadi dasar kebijakan karena susah dipetakan lokasi geografisnya," kata Danang.
sumber: https://www.tempo.co/digital/ugm-kembangkan-sistem-informasi-bencana-di-ponsel-1573875