Diselenggarakan oleh Divisi Manajemen Bencana Kesehatan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM)
bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan Provinsi DIY
KAK
Latar Belakang
Latar Belakang
Dengan situasi dan kondisi Indonesia dengan berbagai bencana, kesiapsiagaan menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari lini kehidupan kita. Situasi bencana dapat membuat kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi, anak-anak dan lanjut usia menjadi semakin rentan akibat dari krisis kesehatan yang diakibatkan oleh bencana tersebut. Akses terhadap pelayanan kesehatan dan pangan menjadi semakin berkurang. Air bersih menjadi terganggu kebutuhannya akibat banyaknya jumlah orang terpapar terutama di pengungsian termasuk sanitasi menjadi sangat buruk, serta sarana pendidikan yang juga dibutuhkan menjadi tidak bisa didapat seperti biasanya karena situasi yang sangat kacau akibat bencana.
Dalam keadaan seperti ini rentan terjadinya peningkatan pada resiko penularan penyakit dan menyebabkan krisis kesehatan akibat adanya fungsi pelayanan yang terganggu dan kerusakan struktur yang masif. Krisis Kesehatan merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai.
Manajemen penanggulangan krisis kesehatan memerlukan keterampilan khusus, mengingat upaya pengelolaan yang dilakukan di luar SOP sehari-hari. Manajemen pada masa pra, saat dan pasca-krisis kesehatan pun memiliki karakteristik yang berbeda-beda di masing-masing fase. Keberhasilan penanganan krisis kesehatan sangat ditentukan oleh kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi di seluruh fase krisis kesehatan. Untuk itu sangat penting meningkatkan kapasitas SDM dalam melakukan manajemen penanggulangan krisis kesehatan.
Tujuan
Tujuan
Tujuan umum pelatihan ini adalah agar peserta mampu untuk melakukan manajemen penanggulangan krisis kesehatan di wilayah kerjanya.
Tujuan khusus pelatihan ini antara lain;
- 
Mampu memahami kebijakan nasional dalam penanggulangan krisis kesehatan 
- 
Mampu memahami dan melaksanakan analisis data surveilans dan penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini dan respon penyakit berpotensi KLB/Wabah saat bencana 
- 
Mampu memahami dan melaksanakan manajemen risiko krisis kesehatan akibat bencana 
- 
Mampu memahami dan melaksanakan manajemen Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan (SIPKK) 
- 
Mampu memahami dan melaksanakan manajemen tanggap darurat krisis kesehatan 
- 
Mampu memahami dan melakukan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan pada tanggap darurat krisis kesehatan 
- 
Mampu melakukan manajemen logistik kesehatan pada penanggulangan krisis kesehatan 
Agenda
Waktu Pelaksanaan
Kegiatan akan dilaksanakan pada;
 Hari, tanggal : Rabu, 15 Oktober 2025
 Waktu  : 08.00 - 17.00 WIB
| Waktu | Materi | Narasumber/Fasilitator | |
| Hari I | |||
| 07.30 - 08.00 | Registrasi | Panitia | |
| 08.00 - 08.30 | Pre test | Fasilitator | |
| 08.30 - 09.00 | Pembukaan | Dinkes Prov DIY PKMK FKKMK UGM | |
| 09.00 - 09.45 | Kebijakan Nasional dalam Penanggulangan Krisis Kesehatan | dr. Gregorius Anung Trihadi, M.P.H | |
| 09.45 - 10.30 | Analisis Data Surveilans dan Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon Penyakit Potensial KLB/Wabah pada Kejadian Bencana | Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid | |
| 10.30 - 11.15 | Manajemen Risiko Krisis Kesehatan dan upaya keamanan keselamatan SDM akibat bencana | dr. Bella Donna, M.Kes | |
| 11.15 - 12.00 | Manajemen Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan (SIPKK) | Happy R Pangaribuan, MPH | |
| 12.00 - 13.00 | ISHOMA | ||
| 13.00 - 13.45 | Manajemen Tanggap Darurat Krisis Kesehatan | dr. Bella Donna, M.Epid | |
| 13.45 - 15.15 | Analisis kebutuhan pelayanan kesehatan pada tanggap darurat krisis kesehatan | dr. Bella Donna, M.Epid Happy R Pangaribuan, MPH | |
| 15.30 - 16.15 | Manajemen Logistik Kesehatan | Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid | |
| 16.15 - 17.00 | Upaya Penanggulangan Paska Krisis Kesehatan | Apt. Gde Yulian Yogadhita | |
| 17.00 | Pre test dan penutup | Panitia | |
Reportase

PKMK-Yogyakarta. Workshop Manajemen Penanggulangan Krisis Kesehatan (15/10/2025), Indonesia berada pada jalur “cincin api” dengan intensitas bencana yang tinggi. Dalam dua dekade terakhir, frekuensi kejadian bencana alam dan non-alam meningkat signifikan, dan hampir setiap kejadian memiliki konsekuensi langsung terhadap sistem kesehatan masyarakat. Gangguan pelayanan, keterlambatan distribusi logistik, tekanan besar pada SDM kesehatan, serta lemahnya koordinasi antar Lembaga menjadi tantangan nyata di lapangan.
Sebagai salah 1 upaya memperkuat kapasitas daerah menghadapi ancaman tersebut secara terencana, cepat, dan terukur, bukan sekadar reaktif. Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Workshop Manajemen Penanggulangan Krisis Kesehatan, Rabu (15/10/2025) di Balai Pelatihan Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kegiatan ini diikuti oleh 30 peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi dan seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Daerah Istimewa Yogyakarta, masing-masing sebanyak 5 orang sebagai perwakilan per wilayah, dengan metode kegiatan berupa ceramah, diskusi, dan praktik teknis.

Paparan materi pembuka disampaikan oleh dr. Gregorius Anung Trihadi, MPH (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DIY), yang menekankan bahwa keberhasilan respons krisis kesehatan sangat bergantung pada kecepatan koordinasi dan kejelasan struktur komando. Menurut Anung, pendekatan birokratis tidak cukup tanggap untuk menghadapi situasi darurat yang berkembang cepat, sehingga peran Health Emergency Operation Center (HEOC) menjadi sangat penting. HEOC berfungsi sebagai pusat komando berbasis data yang memungkinkan pengambilan keputusan cepat, terarah, dan terkoordinasi lintas bidang. Dalam konteks DIY yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam seperti erupsi gunung berapi, keberadaan sistem HEOC yang kuat serta peran aktif kepala dinas kesehatan di tingkat kabupaten/kota menjadi kunci kesiapsiagaan. Narasumber menekankan bahwa penetapan status krisis harus dilakukan secara cepat dan tepat agar respons lapangan tidak tertunda, karena keterlambatan satu hari saja dapat berimplikasi besar terhadap nyawa masyarakat.

Setelah membahas aspek kebijakan dan struktur komando, alur materi mengalir ke pembahasan yang lebih teknis tentang peran sistem informasi dalam krisis kesehatan yang disampaikan oleh Happy R. Pangaribuan, SKM, MPH (PKMK FK-KMK UGM). Happy menjelaskan bahwa banyak kegagalan respons di lapangan bukan terjadi karena kekurangan sumber daya, melainkan akibat keterlambatan arus informasi yang menyebabkan keputusan strategis tidak dapat diambil tepat waktu. Ia menegaskan pentingnya peta risiko dan peta respon sebagai instrumen operasional, bukan sekadar pelengkap laporan. Prinsip early warning-early action harus menjadi dasar dalam perencanaan, sehingga deteksi dini ancaman langsung diikuti langkah nyata di lapangan.
Narasumber beranjak ke sesi selanjutnya yaitu tahap pemulihan pasca krisis dalam manajemen bencana. Pihaknya memperkenalkan pendekatan Post-Disaster Needs Assessment (PDNA) sebagai alat untuk merencanakan pemulihan yang tidak hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur fisik, tetapi juga penguatan sistem kesehatan secara menyeluruh. PDNA menilai kerusakan, kapasitas, dan kebutuhan jangka pendek maupun panjang sehingga pemulihan dapat terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah. Melalui pendekatan ini, krisis kesehatan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa darurat yang harus ditangani sesaat, tetapi sebagai momentum memperbaiki kelemahan sistem dan membangun ketangguhan jangka panjang.

Pembahasan selanjutnya bergerak ke aspek lapangan yang lebih operasional, disampaikan oleh dr. Bella Donna, M.Kes (PKMK FK-KMK UGM). Bella mengangkat dua aspek penting sekaligus yakni manajemen tanggap darurat dan perlindungan SDM kesehatan. Pihaknya menggarisbawahi bahwa fase tanggap darurat sering menjadi titik paling kritis dalam manajemen krisis. Banyak daerah mengalami kesulitan karena penetapan status darurat tidak diiringi dengan kesiapan operasional yang matang. Mobilisasi SDM, logistik, dan koordinasi lintas sektor sering kali terhambat oleh belum kuatnya struktur komando. Di sinilah Incident Command System (ICS) menjadi sangat penting untuk memastikan alur perintah jelas dan cepat. Dalam simulasi aktivasi HEOC, peserta mempraktikkan bagaimana koordinasi lintas bidang dapat berjalan lebih efektif dengan struktur komando yang seragam.
Tidak berhenti di aspek koordinasi teknis, narasumber juga menyoroti sisi yang kerap terabaikan, yaitu perlindungan tenaga kesehatan. Dalam banyak krisis, nakes berada di garis terdepan dengan risiko tinggi terhadap kelelahan ekstrem, paparan penyakit, tekanan psikologis, hingga stigma sosial. Ia menegaskan bahwa keberlangsungan layanan kesehatan sangat bergantung pada kondisi para tenaga kesehatan itu sendiri. Oleh sebab itu, penyediaan APD yang memadai, briefing keselamatan, rotasi petugas, serta dukungan psikososial menjadi elemen yang harus masuk dalam rencana kontinjensi daerah. Penguatan aspek ini bukan hanya soal melindungi individu, tetapi menjaga daya tahan sistem kesehatan agar tetap berfungsi dalam jangka panjang selama krisis.

Rangkaian materi kemudian mengalir ke isu logistik, yang disampaikan oleh apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid (PKMK FK-KMK UGM). Beliau memaparkan bahwa logistik merupakan urat nadi dari setiap respons krisis. Namun, dalam praktiknya, sering kali bantuan logistik yang datang tidak sesuai kebutuhan prioritas di lapangan. Perencanaan logistik yang kurang matang menyebabkan penumpukan bantuan di lokasi yang salah, sementara kebutuhan mendesak tidak terpenuhi. Gde menekankan pentingnya perhitungan kebutuhan logistik yang akurat, pemetaan rantai distribusi, serta koordinasi lintas sektor untuk memastikan sumber daya sampai pada sasaran dengan cepat.

Peserta kemudian dilatih melakukan kalkulasi kebutuhan logistik berbasis populasi terdampak, jenis bencana, dan durasi tanggap darurat. Latihan ini memperlihatkan bahwa keakuratan perencanaan logistik menentukan kelancaran respons operasional di lapangan. Jika ditarik ke dalam satu benang merah, seluruh sesi workshop ini membentuk satu rangkaian logis dan saling menguatkan. Kebijakan dan struktur komando yang kuat menjadi fondasi awal. Sistem informasi memastikan keputusan dapat diambil cepat dan tepat. Manajemen tanggap darurat serta perlindungan SDM menjamin respons berjalan efektif dan berkelanjutan. Sementara logistik memastikan semua upaya di lapangan memiliki dukungan nyata untuk bergerak. Fase pemulihan pasca krisis melengkapi siklus dengan memastikan perbaikan dan penguatan sistem berjalan berkelanjutan.
Dari hasil kegiatan, teridentifikasi sejumlah tantangan strategis yang perlu diperkuat di daerah. Koordinasi lintas level pada fase awal krisis masih perlu ditingkatkan. Sistem logistik perlu direncanakan lebih presisi agar bantuan sesuai kebutuhan. Perlindungan tenaga kesehatan perlu dijadikan prioritas dalam dokumen rencana kontinjensi. Terakhir, fase pemulihan harus diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan kesehatan daerah agar tidak menjadi bagian yang terlupakan. Namun demikian, DIY memiliki modal kuat berupa jejaring komunitas, kapasitas akademik, dan dukungan kelembagaan yang memungkinkan perbaikan sistem dilakukan secara progresif.
Reporter: Vina Yulia Anhar, SKM, MPH (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan, PKMK UGM)

